islamisasi ilmu pengetahuan
A. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengtahuan
Dalam bahasa arab, istilah Islamisasi ilmu dikenal dengan “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa inggris disebut dengan “Islamization of Knowledge”. Islamisasi ilmu merupakan istilah yang mendeskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antar etika Islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma’ (kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah yang tidak bertentangan dengan norma-norma Islam.
Menurut Mulyadhi Kartanegara, Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan naturalisasi sains (ilmu pengetahuan) untuk meminimalisasikan dampak negatif sains sekuler terhadap sistem kepercayaan agama dan dengan begitu agama menjadi terlindungi.
Selain itu, ada beberapa pendapat atau versi tentang pemahaman Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yakni:
1. Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan sekedar memberikan ayat-ayat yang sesuai dengan ilmu pengetahuan umum yang ada (ayatisasi).
2. Islamisasi dilakukan dengan cara mengislamkan orangnya.
3. Islamisasi yang berdasarkan filsafat Islam yang sekaligus mempelajari dasar metodologinya.
Menurut al-Attas, pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan adalah Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa, juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan devolusi.
Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut al-Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan:
1. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat.
2. Kedua memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Jelasnya, ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan konsep pokok dikeluarkan dari setiap ranting.
Al-Attas menolak pandangan bahwa Islamisasi ilmu bisa tercapai dengan melabelisasi sains dan prinsip Islam atas ilmu sekuler. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak ada manfaatnya selama “virus” nya masih berada dalam tubuh ilmu itu sendiri sehingga ilmu yang dihasilkan pun jadi mengambang, Islam bukan, sekuler pun juga bukan. Padahal tujuan dari Islamisasi itu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya sehingga menambah keimanannya kepada Allah, dan dengan islamisasi tersebut akan terlahirlah keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman.
Menurut al-Faruqi, Islamisasi adalah usaha untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita).
Secara umum, Islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang “terlalu” religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antara keduanya.
Selain kedua tokoh di atas, ada beberapa pengembangan definisi dari Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Osman Bakar, Islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebuah program yang berupaya memecahkan masalah-masalah yang timbul karena perjumpaan antara Islam dengan sains modern sebelumnya. Progam ini menekankan pada keselarasan antara Islam dan sains modern tentang sejauh mana sains dapat bermanfaat bagi umat Islam.
M. Zainuddin menyimpulkan bahwa Islamisasi pengetahuan pada dasarnya adalah upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi Barat terhadap realitas dan kemudian menggantikannya dengan worldview-nya sendiri (Islam).
Dari pengertian Islamisasi pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional–empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-quran dan Sunnah Nabi. Sehingga umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketinggalan dari umat lain, khususnya Barat.
Maraknya kajian dan integrasi keilmuan (Islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini dengan santer didengungkan oleh kalangan intelektual muslim antara lain Naquib Al Attas dan Ismail Raji Al Faruqi, tidak lepas dari kesadaran ber-Islam di tengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan iptek. Mereka misalnya berpendapat bahwa umat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu, atau sebaliknya mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Walaupun sudah muncul pada tahun 70-an konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan versi al-Faruqi pertama kali disosialisasikan secara internasional dalam seminar Om Islamization Of Knowledg di Islamabad, Pakistan 4-9 Januari 1982. Seminar ini terlaksana atas kerja sama National Hijra Centenery celebration Commiteee Pakistan, The Institute of Education, Islamic University, Islamabad Pakistan, dan IIIT. Seminar itu dihadiri oleh sarjana terkemuka dari Negara-negara muslim. Komposisi seminar tersebut memperlihatkan bahwa pada masa awal perkembangannya konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan mendapat dukungan dari beberapa negara Muslim terutama Saudi Arabia, Pakistan , dan Malaysia.
Beberapa sarjana terkemuka tersebut tidak hanya mendukung akan tetapi terlibat langsung dalam proses diseminasi konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Mereka berperan dalam proses pendirian Universitas Islam Internasional (International Islamic University) di Jedah, Kuala Lumpur, dan Karachi. Proyek pendidikan tinggi Keislaman pertama yang direkomendasi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Di Kuala Lumpur, tahun 1983 didirikan International Islamic University Malaysia (IIUM), demikian halnya di Jeddah dan Karachi. Pendirian universitas–universitas tersebut sangat kental dengan semangat Islamisasi Ilmu Pengetahuan baik dalam filsafatnya, visi dan misi, serta tujuannya.
Di Indonesia, dukungan kuat terhadap konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan al-Faruqi dimulai pada tahun 1990-an dimulai dengan didirikannya Institut For Science and Teknology Studies (ISTECS), yang bertujuan untuk menyemarakkan Islamisasi sains di Indonesia oleh sekelompok ilmuwan muda di Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT). Dan puncaknya ditandatanganinya piagam berdirinya International Islam Forum for Science, Teknology And Human Rescource Development (IIFTIHAR) di depan ka’bah oleh Prof. Dr. B.J Habibie (saat Itu Menristek dan ketua ICMI) dan Habibi menjabat sebagai ketuannya.
B. Latar Belakang Adanya Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Gagasan al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan muncul karena tidak adanya landasan pengatahuan yang bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Maksudnya adalah ilmu terikat dengan nilai-nilai tertentu (value laden) yang berupa paradigma, ideologi atau pemahaman seseorang.Pendefinisian Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara mum. Yaitu Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism).
Ibn Taimiyyah mendefinisikan ilmu sebagai sebuah pengetahuan yang berdasar pada dalil (bukti). Dalil yang dimaksud dapat berupa penukilan wahyu dengan metode yang benar (al-naql al-mushaddaq), bisa juga berupa penelitian ilmiah (al-bahts al-muhaqqaq). Sedang yang dimaksud dengan "ilmu yang bermanfaat" adalah yang bersumber dari Rasul SAW: “Sesungguhnya ilmu itu ada lah yang bersandar pada dalil, dan yang bermanfaat darinya adalah apa yang dibawa oleh Rasul. Maka sesuatu yang bisa kita katakan ilmu itu adalah penukilan yang benar dan penelitian yang akurat”.
Ilmu pengetahuan yang tidak netral ini sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati. Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu. Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.
Kebenaran dan realitas dalam pandangan Barat tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya yang didukung dengan premis-premis filosofis yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia (antropomorfisme), sebagai makhluk fisik dan sekaligus sebagai makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana yang diperoleh dari pengetahuan wahyu yang dipahami dan dipraktikkan dalam Islam. Karena itu, pengetahuan dan nilai-nilai yang mendasari pandangan hidup (worldview) dan mengarahkan kepada kehidupan Barat menjadi tergantung pada peninjauan (review) dan perubahan (change) yang tetap.
Sedangkan pandangan hidup dalam Islam, menurut al-Attas, adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and turth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekuler mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Akan tetapi realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan tauhid. Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti keimanan dan pengalamannya, ibadahnya, doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.
Dengan demikian, sangat jauh berbeda antara pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Barat dari nilai-nilai keislaman (al-qiyam al-islamiyah). Karena Barat mendasarkan segala sesuatunya dengan kecenderungan pada dikotomisme. Sedangkan islam pada konsep tauhid. Dari situlah kemudian al-Attas mencoba untuk menggagas sebuah konsep islamisasi yang diharapkan dari konsep ini akan meng-counter peradaban Barat yang sekuler.
Islamisasi adalah proses pembebasan manusia dari unsur mitologis, magic, animisme, dan kebudayaan dari paham-paham sekular. Hal ini berarti mengacu pada pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh pandangan hidup (gaya hidup) yang telah di lansirkan oleh manusia Barat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah proses pengembalian kaidah epistimologi dalam rangkamembangun peradaban islam.
Sedangkan alasan yang melatar belakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al-Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan.
C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer
Jauh setelah proses Islamisasi ilmu di awal Islam, umat Islam mengalami kemunduran dan kemerosotan. Dipihak lain, ilmu atau sains yang dikembangkan di dunia Barat mengalami kemajuan yang sangat pesat dan signifikan. Sedangkan sains yang berkembang maju sekarang tersebut secara diametral berbeda dengan ilmu dalam pandangan Islam.
Kemerosotan umat akibat ilmu pengetahuan yang dalam istilah al-Attas disebut dengan ilmu pengetahuan kontemporer telah diuraikan panjang lebar oleh para ilmuan Muslim. Bahkan, menurut Wan Daud, ada tiga diantara temuan ilmiah terpenting di dunia Islam yang sangat berpotensi mempengaruhi perjalanan kehidupan umat Islam secara mendalam dan menyeluruh di abad ke-15 H ini, telah ditemukan oleh al-Attas, yaitu:
1. Problem terpenting yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah ilmu pengtahuan.
2. Ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai (netral), sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia barat.
3. Umat Islam, perlu mengislamkan ilmu pengetahuan masa kini dengan mengislamkan simbol-simbol linguistik mengenai realitas dan kebenaran.
Maka di akhir abad ke-20, dimulailah upaya-upaya untuk mengislamkan ilmu pengetahuan yang digagas oleh beberapa ilmuan.
Adapun tokoh-tokoh penggagas konsep Islamisasi ilmu pengetahuan diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Syed Muhammad Naquib al-Attas
2. Ismail Raji al-Faruqi
3. Seyyed Hossein Nasr
4. Ja’far Syekh Idris
5. Ziauddin Sardar
D. Langkah-langkah Mewujudkan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dalam pandangan al-Attas, sebelum Islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah Islamisasi bahasa. Menurutnya, Islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka, Islamisasi bahasa menyebabkan Islamisasi nalar atau pikiran. Adapun untuk mewujudkan Islamisasi ilmu pengetahuan melibatkan dua proses yang saling berkaitan, yaitu sebagai berikut:
1. Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban barat. Maksudnya adalah jika suatu ilmu pengetahuan tidak sesuai dengan pandangan hidup islam, maka fakta tersebut tidak menjadi benar. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
a. Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b. Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism which involved of reality and truth).
c. Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular worldview).
d. Membela doktrin humanisme (the doctrine of humanism).
e. Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
2. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a. Konsep Agama (ad-din),
b. Konsep Manusia (al-insan),
c. Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah),
d. Konsep kearifan (al-hikmah),
e. Konsep keadilan (al-‘adl),
f. Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal),
g. Konsep universitas (kulliyyah jami’ah
Apabila usaha tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dari mitologi, magic, animisme, dan tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam. Islamisasi akan membebasakan akal manusia dari berbagai keraguan, prasangka, dan argumentasi kosong menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligeble, dan materi.
Dan pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang sejalan dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition).
Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
0 komentar:
Posting Komentar