Kamis, 26 Mei 2016
Rabu, 25 Mei 2016
Selasa, 17 Mei 2016
surat al qoriah
Terjemahan
Surat Al Qariah
Surat
Al Qoriah Arab
|
Ayat
|
|
Hari Kiamat,
|
الْقَارِعَةُ
|
1
|
apakah hari Kiamat itu?
|
مَا الْقَارِعَةُ
|
2
|
Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?
|
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ
|
3
|
Pada hari itu manusia seperti anai-anai
yang bertebaran,
|
يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ
|
4
|
dan gunung-gunung seperti bulu yang
dihambur-hamburkan.
|
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ
|
5
|
Dan adapun orang-orang yang berat
timbangan (kebaikan) nya,
|
فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ
|
6
|
maka dia berada dalam kehidupan yang
memuaskan.
|
فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ
|
7
|
Dan adapun orang-orang yang ringan
timbangan (kebaikan) nya,
|
وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ
|
8
|
maka tempat kembalinya adalah neraka
Hawiyah.
|
فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ
|
9
|
Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah
itu?
|
وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ
|
10
|
(Yaitu) api yang sangat panas.
|
نَارٌ حَامِيَةٌ
|
11
|
resensi buku pendidikan, Filsafat ilmu dalam perspektif barat dan islam
Judul
Buku “Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam”
Dr.
Adian Husaini (Editor)
Cet.
1, 2013, Penerbit Gema Insani
Tebal
292 Halaman
Filsafat, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, merupakan
bagian tak terpisahkan dari ilmu pengetahuan. Sifatnya yang inheren di dalam
ilmu pengetahuan inilah sesungguhnya yang menyebabkan ilmuwan atau para
penuntut ilmu, setidaknya harus mengenal filsafat. Oleh karena itu, hampir
semua perguruan tinggi saat ini memiliki mata kuliah filsafat ilmu, atau yang
semisalnya, tergantung dari institusi yang melabelinya.
Dengan majunya Peradaban Barat, maka ilmu yang berkembang di
Barat pun mengkooptasi perkembangan ilmu di peradaban lain, tak terkecuali
filsafat. Apakah karena usianya yang semakin tua dan peradabannya yang maju,
lantas menjadikan filsafat ilmu hasil impor dari barat ini juga lebih baik?
Atau
apakah konsep yang ditawarkan sesuai atau paling tidak saling melengkapi dengan filosofi ilmu dari perspektif peradaban lain, dalam hal ini peradaban Islam? Mungkin pertanyaan semacam ini muncul di benak kita.
apakah konsep yang ditawarkan sesuai atau paling tidak saling melengkapi dengan filosofi ilmu dari perspektif peradaban lain, dalam hal ini peradaban Islam? Mungkin pertanyaan semacam ini muncul di benak kita.
Buku ini hadir untuk mengurai dan menjawab beberapa di antara
berbagai pertanyaan yang muncul dalam topik filsafat ilmu menurut perspektif
Barat maupun Islam, dan hubungan antara keduanya. Buku yang terdiri dari dua belas
bab ini ditulis oleh delapan penulis yang pakar di bidangnya.
Saat kita tahu bahwa kini Barat mempropagandakan
konsep-konsep mereka tentang ilmu, maka harus ditelusuri kisahnya melalui
sejarah mereka. Bab awal buku ini, “Sekularisasi Ilmu”, mengupas permasalahan
ini. Bab ini menyinggung filsafat pada zaman Pre-Socratic hingga revolusi
ilmiah saat ini. Dijelaskan pula, terjadinya sekularisasi dan westernisasi ilmu
yang mengandalkan rasio dalam mengukur kebenaran.
Bab-bab selanjutnya berbincang tentang konsep ilmu di dalam
Islam. Tiap-tiapnya membahas definisi, pemetaan metodologi, dan epistemologi
Islam. Dalam bab “Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam” misalnya, Dr.
Syamsuddin Arif menekankan bahwa perlunya sikap kritis seorang muslim dalam
mengambil sumber ilmu. Beliau menegaskan kembali konsep ulama terdahulu bahwa
ilmu merupakan agama, maka kepada siapa kita berguru adalah hal yang wajib kita
perhatikan. Dengan kata lain, ilmu harus dicari dari sumber yang otoritatif
yang memiliki pandangan hidup Islam.
Ilmu dan adab dalam Islam juga menjadi salah satu isu penting
dalam buku ini, karena dalam konsep Islam, ilmu dan adab tidak bisa dipisahkan.
Berilmu tanpa adab adalah dimurkai, sementara beradab tanpa ilmu adalah
kesesatan. Dalam pendidikan Islam, tujuan pendidikan hakikatnya adalah
membentuk manusia yang beradab, dan di Indonesia, konsep ini sebenarnya adalah
bagian dari pilar bangsa, yaitu dalam sila kedua Pancasila.
Buku ini ditutup dengan paparan mengenai islamisasi ilmu
pengetahuan. Sebuah penutup bab yang memberikan gambaran proses yang mungkin
bisa dilakukan untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan. Dijelaskan di dalam
bagian ini, islamisasi ilmu yang dikemukakan dari berbagai pakar pendidikan
Islam, seperti Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Ismail Al-Faruqi, Syed Hossein
Nasr, Ja’far Syekh idris, hingga Ziauddin Sardar. Hal yang menarik adalah, di
antara kelima tokoh tersebut, Syed Hussein Nasr tampaknya agak menyimpang dari
konsep Islamisasi Ilmu. Jika kita membaca ide dari keempat tokoh tersebut
secara seksama di buku ini, kita akan menemukan bahwa keempatnya sepakat dengan
gagasan konsep ilmu yang lain tidak lebih baik dari Islam. Syed Nasr, yang
dikritik oleh Al-Attas dalam bukunya Prolegomena to the Metaphysic of Islam,
mengajukan ide sains sakral, yang pada level esoteris (batin) agama dianggap
sama. Padahal, Islamisasi pengetahuan tentu saja mengedepankan keunikan agama
Islam sebagai agama yang benar. Gagasan ini disebut juga sebagai gagasan
Perennialisme, sehingga di satu sisi, gagasan ini betul kritis terhadap sains
sekuler tapi sebenarnya tidak berpihak pada proses islamisasi.
Untuk membahas filsafat ilmu dari dua perspektif yang berbeda
tentu saja sangat tidak cukup dengan uraian setebal 292 halaman dari buku ini.
Tetapi,
ide-ide pokok tentang konsep ilmu Barat maupun Islam dalam buku ini kurang lebih telah memberikan asupan yang cukup sebagai bekal awal bagi para pembaca yang ingin menyelaminya lebih dalam. Adapun kekurangan dari buku ini di antaranya adalah tidak seragamnya format yang digunakan, misalnya pada beberapa bab memiliki bagian penutup, sedangkan pada bab yang lain tidak ada. Dalam buku yang juga merupakan kumpulan makalah ini, beberapa penerjemahan dirasakan kurang tepat, walaupun tidak mengganggu secara substansial terhadap pemaknaan kalimat. Berkaitan dengan penulisan, ukuran huruf juga tidak konsisten, karena ada bab yang ukuran hurufnya lebih besar dari ukuran huruf bab yang lain. Tetapi hal tersebut tentu saja tidak membuat buku ini menjadi kurang nikmat dan bermanfaat.
ide-ide pokok tentang konsep ilmu Barat maupun Islam dalam buku ini kurang lebih telah memberikan asupan yang cukup sebagai bekal awal bagi para pembaca yang ingin menyelaminya lebih dalam. Adapun kekurangan dari buku ini di antaranya adalah tidak seragamnya format yang digunakan, misalnya pada beberapa bab memiliki bagian penutup, sedangkan pada bab yang lain tidak ada. Dalam buku yang juga merupakan kumpulan makalah ini, beberapa penerjemahan dirasakan kurang tepat, walaupun tidak mengganggu secara substansial terhadap pemaknaan kalimat. Berkaitan dengan penulisan, ukuran huruf juga tidak konsisten, karena ada bab yang ukuran hurufnya lebih besar dari ukuran huruf bab yang lain. Tetapi hal tersebut tentu saja tidak membuat buku ini menjadi kurang nikmat dan bermanfaat.
balajar filsafat dengan tanya jawab :)
Soal Pilihan Ganda Metodologi Ilmiah Dalam Islam.
1.
Kata metodologi berasal dari
bahasa...
a. Yunani b. Indonesia
c. Arab d.
Pakistan
jawab: a. Yunani
2.
Metodologi berasal dari kata metode
dan logos. Metodologi bisa diartikan ilmu yang membicarakan tentang...
a. Hukum b. Metode-metode
c. Qolbu d. Filsafat
jawab: b. Metode-metode
3.
Macam-macam Metodologi Ilmiah dalam
Islam adalah sebagai berikut, kecuali...
a. Metode
bayani b. Metode irfani
c. Metode
tajribi d. Metode qolbu
jawab: d. Metode qolbu
4.
Metodologi Ilmiah dalam Islam yang merujuk kepada Al-Qur’an sebagai sumber pengtahuan adalah...
a. Metode
tajribi b. Metode irfani
c. Metode
bayani d. Metode burhani
jawab: c. Metode bayani
5.
Metode Irfani barasal dari kata 'irfan
adalah bentuk masdar dari kata 'arafa
yang berarti...
a.
Ma’rifah/ilmu pengetahuan b.
Penelitian
c.
Percobaan/eksperimen d.
Pengenalan
jawab: a. Ma’rifah/ilmu pengetahuan
6.
Salah satu Metodologi Ilmiah
dalam Islam yang merujuk kepada percobaan eksperimen dan pengamatan indera
adalah...
a. Metode
burhani b.
Metode tajribi
c. Metode
irfani c.
Metode bayani
jawab: b. Metode tajribi
7.
Metode Irfani adalah salah satu
Metodologi Ilmiah dalam Islam yang merujuk kepada penggunaan...
a. Akal b. Qolbu/hati
c. Indra d. Al-Qur’an
jawab: b. Qolbu/hati
8.
Berikut adalah asal Metodologi
Ilmiah dalam Islam, kecuali...
a. Metodologi
berasal dari ilmu hadits b.
Metodologi berasal dari ushul al-fikih
c. Metodologi
diambil dari tafsir d.
Metodologi yang berasal dari akal
jawab: d. Metodologi yang berasal dari akal
9.
Metodologi Ilmiah dalam Islam
yang dalam pemahamannya menggunakan akal adalah...
a. Metode
tajribi b.
Metode burhani
c. Metode
irfani d.
Metode bayani
jawab: b. Metode burhani
10.
Salah satu tokoh filsafat Islam
yang terkenal dengan ilmu kedokterannya adalah...
a. Jabir ibn
Hayan b.
Ibnu sina
c. al-Ghazali d.
Khalil ibn Ahmad
jawab: b. Ibnu sina
soal essay Metodologi Ilmiah Dalam Islam.
1.
Apakah fungsi dari mempelajari
metodologi ilmiah dalam Islam?
Jawab:
Metodologi berasal dari kata metode
dan logos. Metodologi bisa diartikan ilmu yang membicarakan tentang
metode-metode. Kata metode berasal dari bahasa yunani methodos,
sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata
benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri
lalu berarti: penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa fungsi kita mempelajari
metodologi ilmiah dalam islam adalah untuk mengkaji, mempelajari
dan memahami Islam secara ilmiah berdasarkan
metode-metode Islam, Berikut adalah macam-macam dari metode ilmiah
tersebut: Metode
Bayani, Metode Irfani, Metode
Tajribi, Metode Burhani.
2.
Jelaskan macam-macam Metodologi
Ilmiah dalam Islam!
Jawab:
Macam-macam Metodologi Ilmiah dalam Islam adalah sebagai berikut:
a.
Metode Bayani, Secara etimologi, bayan berarti
penjelasan (eksplanasi). Al Jabiri berdasarkan beberapa makna yang diberikan
kamus lisan al Arab mengartikan sebagai al
fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan
metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas
dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode bayani. Metode bayani adalah metode yang merujuk kepada suatu
teks yang mana teks tersebut diyakini memiliki kandungan pengetahuan. Karena
hal ini djijalankan oleh umat Islam, maka sudah barang pasti bahwa Al-Qur’an
dan hadits-lah yang dijadikan sebagai teks rujuakn tersebut. Metode bayani ini
dilakukan setidaknya untuk mengurai ilmu yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan
hadits. Khususnya
dalam Al-Qur’an, dari metode bayani inilah ayat-ayat Al-Qur’an menjadi
terklasifikasikan, yakni ada pembagian muhkamat dan mutasyabihat, dzhahir dan
mubayyan, dan lain sebagainya.
b.
Metode Irfani, Kata 'irfan adalah bentuk masdar dari kata 'arafa yang berarti ma'rifah
(ilmu pengetahuan). Kemudian 'irfan
lebih dikenal sebagai terminologi mistik yang secara
khusus berarti "ma'rifah"
dalam pengertian "pengetahuan
tentang Tuhan.” Yakni metode setelah kita tahu bahwa pengetahuan yang
kita dapat melewati indera tersebut sifatnya terbatas, bahkan jika kita telisik
lebih dalam lagi bahwa sebenarnya realitas yang dapat kita indera tersebut
banyak memiliki sifat ambigu, yang mana para ilmuwan muslim memiliki kesimpulan
bahwa pengetahuan yang kita dapat dari penginderaan belum tentu itu
merepresentasikan fakta, dan juga pengetahuan akal yang dikatakan melebihi dari
pengetahuan indera akan tetapi masih saja membutuhkan metode lain untuk
mengarahkannya kepada koridor kebenaran, maka para ilmuwan muslim khususnya
dari kalangan sufi mengklaim bahwa ada satu metode lain yang dirasa lebih
sempurna dari kedua metode tersebut. Metode tersebut irfani. Metode irfani ini menggunakan hati/qalbu, yang sudah
tidak hanya melihat ataupun mempersepsi lagi layaknya indera dan akal, akan
tetapi hati sudah mampu merasakan. Karena metode ini menisbatkan pada
pengalaman atau merasakan sesuatu, maka boleh jadi bahwa pendekatan irfani ini
dapat mewakili sepenuhnya tentang pengetahuan tersebut. Kita contohkan saja
kepada rasa rindu, maka sebelum kita benar-benar mengalamai rasa rindu
tersebut, maka kita hanya bisa membayangkan saja rasa rindu tersebut melewati
media akal yang mana tidak bisa dijanjikan kebenaran dari kesimpulannya. Tentu saja tidak semua orang mampu memotensikan
hatinya untuk merasakan realitas pengetahuan, maka dari itu dibutuhkan cara-cara
agar kita dapat memotensikan hati kita agar dapat digunakan untuk merengkuh
pengetahuan yakni dengan cara tazkiyah an-nafs, karena tergeraknya hati untuk
menggapai pengetahuan membutuhkan jiwa yang bersih.
c.
Metode Tajribi, Metode tajribi adalah metode pengamatan
objek fisik yang tentu saja alatnya dengan menggunakan indera, atau yang
seringkali dilakukan oleh para peneliti barat yakni metode eksperimen. Dalam
tradisi ilmiah Islam, pengamatan terhadap objek fisik dilakukan pada dua level,
yakni level teoritis yang mana para ilmuwan muslim mengkaji dengan seksama
secara kritiskarya-karya ilmiah di bidang fisika tertentu semisal astronomi,
kedokteran dan lainnya. Dan level kedua yakni level praktis yang mana mereka
berupaya untuk membuktikan kebenaran suatu teori. Pada perkembangannya, karena metode tajribi ini
menggunakan metode pengamatan indera, yang mana bisa saja memunculkan pandangan
subyektif karena kemampuan indera antara satu individu dengan individu lainnya
berbeda maka diciptakanlah ukuran-ukuran (kilometer, hectometer, dekameter dan
lain-lain) untuk memberikan kesan obyektif pada pengamatan tersebut. Pun juga
keterbatasan indera mata kita yang memungkinkan tidak dapat melihat benda yang
kasat mata seperti kuman, virus dan lainnya, maka dari itu para ilmuwan muslim
menciptakan alat bantu penglihatan mata untuk emlihat benda kasata mata
tersebut dengan lebih jelas lagi, seperti mikroskop dan teleskop untuk melihat
benda angkasa.
d.
Metode Burhani, Al burhani secara sederhana bisa
diartikan sebagai suatu aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi
melalui pendekatan deduktif dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan
proposisi yang lain yang telah terbukti kebenaranya secara aksiomatik. Karena pada hakikatnya objek kajian ilmu itu tidak
hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat empiris saja, melainkan ada objek
kajian ilmu yang bersifat non-fisik, maka secara tidak langsung ini
memungkinkan harus ada suatu alat peneliti yang dapat menjangkau objek
non-fisik tersebut. Maka para ilmuwan muslim meyakini bahwa alat itu adalah
akal. Dengan adanya akal sebagai alat peneliti objek non-fisik, maka
terciptalah suatu metode baru yang bersifat beyond fisik yakni metode burhani. Karena melebihi dari indera kita, maka akal diklaim
sebagai alat peneliti yang lebih baik daripada indera kita. Disebut-sebut akal
mampu memahami realitas dan tidak hanya sekedar melihat, mencium, mendengar
layaknya indera kita. Selain itu akal tidak mengenal jarak yang bagi indera
kita dijadikan sebagai kelemahan. Mau jauh ataupun dekat tidak ada bedanya,
karena akal tetap mampu untuk menggapainya. Kelebihan akal lainnya yakni ia
mampu menerobos aspek batin dari suatu realitas, sehingga ia bisa mengetahui
macam-macam sifat batin seperti cinta, kasih, bahagia, sedih dan lainnya.
3.
Berasal dari manakah Metodologi
Ilmaih dalam Islam?
Jawab:
a. Metodologi
Berasal dari Ilmu Hadits, Ulama masa
lampau, sesungguhnya, menerapkan pendekatan ilmiah dalam menyelidiki kesahihan
dan otetisitas hadits. Nalar diterapkan dalam mengkritisi hadits pada tiap
tahapannya. Sebagaimana dinyatakan Ibnu Abi Hatim al-Razi:”Otentisitas suatu hadits diketahui melalui asalnya yang datang dari
periwayat yang terpercaya dan pernyataannya itu sendiri harus sepadan sebagai
pernyataan nubuwah”. Bagi kepentingan metodologi hadits, tsiqah (dapat dipercaya) merupakan
syarat utama bagi uatu hadits autentik. Seluruh muhadditsun sepakat bahwa tradisi kenabian hanya dapat diterima
jika ia diriwayatkan oleh periwayat yang dapat dipercaya. Al-Khatib al-Baghdadi
mencatat sejumlah ungkapan para tabi’in bahwa: “seseorang tidak boleh melaporkan tentang Nabi saw. Kecuali oleh mereka
yang dapat dipercaya”. Jadi, penerimaan akhir suatu riwayat tidak hanya
terletak pada ketepatan dan otentisitasnya, tetapi juga kejujuran para
periwayatnya. Jadi,
periwayat yang terpercaya tidak hanya ditentukan oleh ilmu yang mumpuni, tetapi
juga oleh karakterdiri yang baik. Maka, prilaku moral tidak hanya pada tataran
axiologi ilmu, tapi juga pada ontologi dan epistemologi. Dalam mengikutkan
keyakinan dan prilaku substrata ontologis, epistemologis, metodologis, dan
axiologis ilmu hadits, ini membuat hadits memiliki metodologi yang unik.
b. Metodologi
yang Berasal dari Ushul al-Fiqh, Asyi-Syafi’i
menyatakan bahwa mereka yang mempelajari ilmu Islam harus mempelajari Al-Qur’an
dan segala ilmunya semampunya. Ketika niat mereka ikhlas, mereka dapat mereka
dapat mengutip ayat-ayatnya dan menarik maknaya. Serupa dengan itu, Al-Ghazali
menetapkan bahwa mereka yang meriwayatkan hal-hal yang syariah yang mewajibkan
Muslim untuk bertindak atau meninggalkan suatu amal maka iapun harus muslim.
Dalam pandangannya, non muslim patut dicurigai dan tidak dapat dipercaya untuk
meriwayatkan riwayat yang berisi syariah, karena ia mungkin akan mencampurinya
dengan keyakinannya yang salah atau mengarang berita dan menisbatkannya pada
Nabi saw. Untuk menyesatkan Muslim. Ia menambahkan bahwa secara umum, bahkan
kesaksian dan berita dari seorang fasik tidak dapat diterima. Mereka
tertolak, karena menerimanya hanya akan memberi mereka penghormatan, sehingga
ucapan mereka dapat mengikat kaum muslim. Dalam hal ini, maka kafir lebih berat
dan dahsyat daripada fasik. Maka, Al-Ghazali menegaskan bahwantidak pantas dalam
mengatur segala urusan mengakuinya sebagai suatu yang mengikat suatu ketetapan
agama yang berasal dari laporan seseorang yang tidak meyakini kemuliaan iman
Islam.
c. Metodologi
yang Diambil dari Tafsir, Demikian
juga, perilaku moral juga dijumpai dalam ilmu tafsir. Etika penafsiran
Al-Qur’an adalah kesalehan dan adil. Al-Zarkashi berkata “Ketahuilah bahwa pemahaman makna wahyu tidak tergapai oleh pengamat
dan rahasia pemahamannya tidak tampak baginya sementara bid’ah atau kesombongan
atau godaan atau cinta dunia atau berlaku maksiat atau keyakinan tidak diakui
atau pengakuan yang lemah atau ia bergantung pada kata-kata penerjemah yang ia
tidak paham akan ilmunya, dan semua ini adalah hijab dan halangan yang mana
satu lebih besar dari yang lain” Jadi, moral dan metode yang jujur merupakan kewajiban
keyakinan sebagai salah atau kriteria utama dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Al-Tabari misalnya, berpendapat bahwa salah satu syarat menafsirkan Al-Qur’an
adalah, keyakinan yang kuat dan komitmen kepada urusan agama. Mereka yang
keyakinannya cacat, tidak dapat dipercaya untuk bertanggung jawab menangani
masalah dunia, apalagi agama. Ibnu Mas’ud
berkata, “Ketika kami sudah belajar
sepuluh ayat, kami tidak menambahnya hingga kami paham maknanya dan
mengamalkannya”. Abu A’bd al-Rahman al-Sulami: mereka yang bisa mengajari
kami membaca (Al-Qur’an) berkata bahwa mereka meminta Rasullulah membaca, dan
ketika mereka sudah mendapat sepuluh ayat mereka berhenti dahulu hingga
mengamalkan kandungannya. Maka kami belajar Al-Qur’an dan sekaligus
mengamalkannya. Setelah
penjelasan metodologi yang mapan yang diambil dari ilmu hadits, usul al-fiqh
dan tafsir, para peneliti percaya bahwa sesungguhnya ulama harus menggabungkan
dalam diri mereka ketaatan kepada Allah, dengan menaati perintah-Nya
sebagaimana ditetapkan dalam Al-Qur’an dan sesuai dengan cara yang
diperintahkan Nabi Muhammad saw. Jadi, studi agama islam tidak hanya memadai
pada peringkat intelektual, karena juga harus diamalkan dalam hidup seseorang
yang mempelajarinya. Karena tidak mungkin bagi sarjana non-muslim berlaku
sesuai syariah sebab mereka non-muslim, ulama sejati memiliki hidangan utama
yang otomatis, istimewa, tak terubahkan ke dalam sifat agama islam. Mereka
adalah hakim yang terbaik, satu-satunya dari ajaran-ajarannya. Memadukan
keyakinan dan moral ke dalam ilmu merupakan metodologi unik studi agama Islam.
4.
Bagaimanakah kontribusi Islam
dalam Metodologi Ilmiah?
Jawab:
Di era modern ini dimana pemahaman
terhadap sesuatu dengan mengedepankan logika, kajian studi Islam dituntut juga
secara ilmiah tetapi tidak lepas dari dua sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an
dan Hadits. Dengan adanya kajian Islam secara ilmiah ini mampu membuat orang
berwawasan luas dan mampu memahami Islam secara Ilmiah sesuai dengan
perkembangan zaman dan bisa lebih toleran. Dalam hal ini akan membahas secara
khusus:
1) Pertama, Islam dan
pengembangan ilmu pengetahuan, meliputi:
a.
Perhatian Islam terhadap ilmu
pengetahuan
Ilmu dalam
Islam merupakan salah satu kekuatan penyangga. Allah pernah menunjukkan makna
pena yang biasa dipakai menulis oleh para ulama, yaitu ketika Allah bersumpah
demi pena melalui firman-Nya,
“Demi
kalam (pena) dan segala apa yang mereka tulis” (QS. Al-Qalam: 1)
“Sesungguhnya
diantara hamba-hamba Allah yang paling takut kepada-Nya hanyalah ulama”
(QS. Fathir: 28)
“Allah
menjunjung tinggi orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang yang berilmu
pada beberapa tingkatan” (QS. Mujadalah:11)
Dari
ayat-ayat di atas dapat dilihat begitu besarnya penghargaan kepada orang-orang
yang berilmu. Nabi SAW. juga menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk belajar
bahasa asing agar mereka memperoleh pengetahuan budaya bangsa lain. Dalam salah
satu khutbahnya, Rasulullah memuji kelebihan orang-orang yang berilmu,
mengingatkan kepada kaumnya bagi yang tidak mau mengajarkan ilmu yang
diperoleh, dan memerangi orang-orang yang bermain dalam mencari ilmu.
b.
Integrasi agama dan ilmu pengetahuan
Islam
merupakan agama yang memotivasi orang untuk mentransfer ilmu kepada yang lain.
Kegiatan ini mampu melahirkan tradisi keilmuan dan akademik yang mapan,
sebagaimana hal itu dikenal di Barat dengan sebutan metode ilmiah modern.
Metode ini sekarang berhasil menumbuhkan budaya progresif di sana yang pada
gilirannya telah menguasai dunia. Dari sini dapat dilihat bahwasannya budaya
Islam yang telah ikut serta memajukan budaya barat adalah karena metode ilmiah
itu.
Para ilmuwan
Muslim menemukan toleransi dan kemudahan dalam agama, bahkan mereka mengajak
menyingkap rahasia alam dan rahasia substansinya sehinga dapat ditundukkan guna
keperluan manusia, memakmurkan alam ini dan mengembangkan kehidupannya.
c.
Universitas Islam dan sumbangannya
terhadap ilmuwan dunia
Dalam buku The
History of Science, Parnal menyatakan, “sesungguhnya para ilmuwan Muslim
telah melaksanakan pengabdian kemanusiaan yang tak terhitung”. Para ilmuwan
benar-benar berlomba dan memuliakan ilmu dan ulama. Diantara ilmuwan muslim itu
adalah Jabir ibn Hayan, penyusun aljabar; Khawarazmi penemu logaritma; Khalil
ibn Ahmad penemu dasar ensiklopedia dan ilmu ‘arudl; Imam Sibawaih menemukan
filsafat bahasa Arab dan prinsip-prinsip dasar ilmu I’rab, dan lain sebagainya.
Para mahasiswa banyak yang pergi ke Andalusia, Cisilia, dan seluruh ibukota
Islam di Eropa untuk belajar pada guru Muslim. Mereka itu antara lain sebagai
berikut:
1)
Pertama, Herbart
yang berhasil menguasai deferensial di Roma pada akhir abad X M.
2)
Kedua, Nicolades
yang melakukan perjalanan ke negara-negara Islam di akhir abad ke-13.
3)
Ketiga, al-Idrisi
seorang ahli geograf yang terkenal. Ia menyusun pertama kali peta geografi
dunia yang dicetak oleh Yayasan Ilmiah di Baghdad.
4)
Keempat, al-Wizan
al-Fasi, seorang dokter Arab yang memperhatikan ilmu-ilmu Islam dan
menyiarkannya pada bangsanya. Ia mempunyai andil dalam memajukan ilmu
kedokteran di Eropa. Ia juga menyusun kamus kedokteran, di mana di dalamnya ia
terjemahkan istilah-istilah kedokteran yang berbahasa Arab ke dalam bahasa
latin dan Ibrani.
Para ilmuwan
Muslim banyak yang lebih dahulu mengemukakan teorinya daripada ilmuwan yang
lain. Imam Ghazali dengan kitabnya Al-Munqidl min al-Dlalal lebih dahulu
daripada Dekkart. Qudamah ibn Ja’far telah mampu membuat pola bumi dan
mengetahui pendeknya waktu siang di dua kutub. Pada tahun 595 H. Ibn Zuhri
al-Andalusia mengarang Taisiir. Buku kedokteran pertama yang membahas
bidang perawatan kesehatan tubuh.
d.
Paradigma penelitian ilmiah dalam
Al-Qur’an
Al-Qur’an
memberikan petunjuk kepada kita dalam bidang keilmuan melalui pendekatan ilmiah
dan pendekatan realistik. Pendekatan ilmiah sebagaimana disampaikan oleh
Al-Qur’an didasarkan pada paradigma sebagai berikut.
Pertama, penggunaan
eksperimen atau temuan-temuan baik terdahulu atau modern.
Kedua, penggunaan
rasio dan eksperimen dalam mencari kebenaran sehingga ditemukan rumus-rumus
untuk hal-hal yang belum diketemukan oleh orang lain.
Al-Qur’an
juga menetapkan pedoman-pedoman operasional secara cermat bagi dua paradigma di
atas untuk menjaga kemungkinan distorsi atau penyimpangan. Pedoman itu antara
lain:
1)
Hendaklah seorang cendekiawan tidak
menyimpan pengalaman-pengalaman serta ilmu-ilmu yang telah ia peroleh. Karena
pada hakikatnya pengalaman bukan hanya miliknya, melainkan merupakan hidayah
dan taufik dari Allah.
2)
Amanah ilmu seharusnya menempati
posisi utama.
3)
Ilmu merupakan kebenaran universal
bagi seluruh manusia.
4)
Tidak menyia-nyiakan waktu dalam
berdiskusi, baik oleh pihak guru maupun oleh pihak murid. Diskusi yang
dilakukan hendaknya tidak mendistorsi konsep yang menghambat kemajuan.
5)
Menrima hal-hal yang bermanfaat dan
meninggalkan pembicaraan tidak berguna.
6)
Menyeleksi dan meneliti para calon
pendidik yang hendak mentransfer pengetahuan kepada kita.
2)
Kedua, metodologi
penelitian ilmiah, meliputi:
a.
Macam-macam penelitian akademik
b.
Langkah-langkah penelitian
5.
Apakah kesimpulan yang kita dapat
setelah kita mempelajari Metodologi Ilmiah dalam Islam?
Jawab:
Setelah kita mempelajari Metodologi Ilmiah dalam Islam kita akan mengerti
bahwa metodologi berasal dari kata metode dan logos.
Metodologi bisa diartikan ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Kata
metode berasal dari bahasa yunani methodos, sambungan kata depan meta
(menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan,
perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri lalu berarti: penelitian,
metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak
menurut sistem aturan tertentu.
Sehingga
dapat kami simpulkan bahwa metodologi ilmiah dalam islam adalah merupakan
suatu pengkajian dalam mempelajari dan memahami Islam secara ilmiah.
Berikut
adalah macam-macam dari metode ilmiah tersebut:
1.
Metode Bayani
2. Metode
Irfani
3. Metode
Tajribi
4.
Metode Burhani
Metodologi
ilmiah dalam Islam:
1.
Metodologi bersal dari ilmu Hadits
2. Metodologi
yang berasal dari ushul al-fiqh
3.
Metodologi yang diambil dari Tafsir
Langganan:
Postingan (Atom)