Selasa, 17 Mei 2016

antum kudu mesti, mesti kudu baca ni artikel!!

A. Khulu’
1.      Pengertian Khulu’
Menurut bahasa, khuluk yaitu berasal dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian, karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri. Menurut istilah yaitu permintaan cerai yang diajukan oleh istri terhadap suami dengan memberikan ganti rugi sebagai tebusan, yakni istri memisahkan dirinya dari suaminya dangan memberikan ganti rugi kepadanya.
Khulu’ Ia juga dikenali sebagai ‘Tebus Talaq’ yang bermaksud pembubaran perkawinan yang diperolehi oleh seorang isteri dengan membayar kepada suaminya dengan sesuatu benda yang berharga di mana kadar benda tersebut adalah berdasarkan persetujuan antara suami dan isteri berkenaan atau berdasarkan kepada keputusan qadhi. Dengan kata lain khulu’ adalah talak tebus, yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami dengan ‘iwad (tebusan) oleh istri kepada suami. Hal ini adalah berdasarkan pengertian yang diambil dari sebuah hadits Rasulullah SAW yang artinya: Dari Ibnu Abbas RA bahwa isteri Thabit bin Qais telah datang berjumpa Rasulullah SAW lantas berkata “wahai Rasulullah, saya hendak meminta cerai dari suami saya dan tidak ada cacian terhadapnya tentang perangainya dan keagamaannya tetapi saya benci akan sifat kekufuran yang ada padanya sedangkan saya seorang Islam.” Maka sabda Rasulullah SAW “Adakah engkau bersedia mengembalikan kebunnya yang telah diberikan kepada kamu sebagai mas kahwin?” Jawabnya: “Ya saya bersedia.” Lalu baginda menyuruh Thabit bin Qais menerima kembali kebunnya dan menceraikan isterinya. Maka Thabit menerima perintah baginda dan diceraikan isterinya. (HR. Bukhari dan an-Nasa’i)
Secara umumnya apa saja yang boleh dijadikan mahar (mas kahwin) boleh dijadikan bayaran khulu’, yaitu setiap barang yang bernilai atau mempunyai manfaat dan ditentukan secara pasti tentang benda dan faedah yang hendak digunakan sebagai bayaran khulu’ tersebut.
Di antara kesan khulu’ ialah bekas suami tidak boleh rujuk kepada bekas isterinya, bekas suami tidak boleh menambah talaq ke atas bekas isterinya, bekas suami tidak boleh menambah talaq ke atas bekas isterinya dalam waktu ‘iddah dan suami juga tidak boleh menikahi bekas isterinya kecuali dengan akad dan mas kahwin yang baru.
Iddah bagi isteri yang dikhulu’ adalah sekali haid dan pembubaran menerusi khulu’ ini boleh dilakukan pada bila-bila masa yaitu waktu suci atau waktu isteri sedang haid. Maka berdasarkan khulu’ ini inisiatif untuk perceraian datang dari pihak isteri sendiri dan alasan yang boleh diterima oleh syarak.
Walaupun isteri mempunyai hak untuk memohon fasakh dan khulu‘, tetapi Rasulullah SAW menuntut agar ia tidak dilakukan dengan sewenang-wenangnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: Mana-mana perempuan yang memohon cerai daripada suaminya tanpa sebab yang munasabah maka haram ke atasnya bau syurga. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Daud dan Ahmad)

2.      Dalil Pensyari‘atan Khulu’
Firman Allah SWT dalam Q.S al-Baqarah: 229 yang artinya: “Dan tidak halal bagi kamu mengambil balik sesuatu dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka (isteri-isteri yang diceraikan itu) kecuali jika keduanya (suami dan isteri) takut tidak dapat menegakkan peraturan hukum Allah, maka tidaklah mereka berdosa mengenai bayaran (tebus talak) yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya (dan mengenai pengambilan suami tentang bayaran itu). Itulah peraturan- peraturan hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya, dan siapa yang melanggar peraturan-peraturan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.[1]


3.      Syarat Sah Khuluk‘
a.       Suami: Baligh, berakal, mukhtar (bebas) melakukan khulu‘ bukan dipaksa.
b.      Isteri: Hendaklah seorang yang boleh menguruskan harta dan mukallaf.
c.       Lafaz khulu‘: Hendaklah disebut dengan terang, contoh: Suami berkata “Aku talaq kamu dengan bayaran sekian banyak’. Atau isteri berkata “Aku menebus talaq ke atas diriku dengan bayaran sekian banyak.”
d.      Bayaran khulu‘: Hendaklah dijelaskan dengan jumlah yang tertentu.

4.      Hal yang Menjadi Alasan Dilakukannya khulu’
Khuluk dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan sebagai berikut :
a.       Istri sangat membenci suaminya karena sebab-sebab tertentu dan dikhawatirkan istri tidak dapat mematuhi suaminya.
b.      Suami istri dikhawatirkan tidak dapat menciptakan rumah tangga bahagia dan akan menderita apabila pernikahan dipertahankan. Seperti yang terdapat di dalam hadits yang artinya: Dari Ibnu Abbas R.A. bahwasannya istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi Muhammad Saw, dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak suka (durhaka kepada suami) setelah masuk Islam.” Maka Rasulullah Saw, bertanya, “Apakah kamu mau mengembalikan kebunnya?” ia menjawab “Ya” Rasulullah Saw. Bersabda (kepada Tsabit bin Qais), “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah sekali.” (HR.Bukhari)

B. Fasakh
1.      Pengertian Faskh
Secara bahasa, fasakh berasal dari bahasa arab yakni fasakha (فسخ) artinya rusak. Menurut Kamal Mukhtar, fasakh diartikan sebagai “mencabut” atau “menghapus” yang berarti perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat baik oleh suami maupun istri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup lagi mencapai tujuan rumah tangga bersama. Dengan kata lain fasakh ialah membatalkan atau pembubaran akad nikah disebabkan oleh kecacatan yang berlaku pada waktu akad atau kecacatan yang mendatang selepas berlakunya akad nikah yang menghalang kekalnya perkahwinan.
Fasakh disyariatkan dalam rangka menolak kemudharatan dan diperbolehkan bagi seorang istri yang sudah mukallaf atau baligh dan berakal. Suami memiliki hak menalak, sedang bagi perempuan disediakan lembaga fasakh. Dengan demikian, keduanya memiliki hak yang sama dalam upaya menghapus atau mencabut suatu ikatan rumah tangga karena adanya penyebab tertentu yang dibenarkan menurut hukum.
Fasakh bisa disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan pernikahan.

2.      Syarat
Fasakh bisa terjadi karena:
a.       Syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada aqad nikah:
1)      Suami istri adalah saudara sesusuan
2)      Suami-istri di waktu kecil diaqadkan oleh selain ayah dan kakeknya, kemudian setelah dewasa mereka berhak memilih antara melanjutkan aqad nikahnya atau membatalkannya (khiyar baligh). Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini mengakibatkan perkawinan mereka fasakh (fasakh Baligh).
b.      Hal-hal lain yang datang kemudian yang membatalkan perkawinan:
1)      Bila salah seorang dari suami istri murtad dari Islam dan tidak mau kembali sama sekali. Maka aqad nikahnya batal (fasakh) disebabkan karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
2)      Jika suami yang kafir masuk Islam, tetapi istri tetap pada kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka perkawinannya batal (fasakh). Kecuali isterinya seorang ahli kitab. Karena perkawinan dengan ahli kitab diperbolehkan, maka perkawinan tidak batal. Sebab perkawinan dengan wanita ahli kitab itu dari semula dipandang sah.[2] Fasakh baik disebabkan adanya sesuatu yang mengharuskan berakhirnya akad nikah ataupun karena adanya sesuatu yang membatalkan akad nikah, adalah mengakhiri ikatan perkawinan dengan seketika.[3]

3.      Sebab-Sebab Terjadi Fasakh
a.       Karena ada balak (penyakit belang kulit)
b.      Karena gila
c.       Karena canggu (penyakit kusta)
d.      Karena ada penyakit menular padanya, seperti sipilis, TBC, dan lain-lain.
e.       Suami miskin. Apabila suami tidak memiliki kesanggupan untuk menafkahi keluarga, bahkan menimbulkan kesusahan dan penderitaan bagi keluarganya, pihak istri berhak melakukan fasakh.
f.       Karena suami hilang dan selama hilangnya tanpa informasi yang jelas.[4]

C. Ila’
1.      Pengertian Ila’
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri.
Kata “Ila’” menurut bahasa merupakan masdar dari kata “ala-ykli-laan”, yang artinya sumpah. Menurut istilah Ila’ berarti sumpah suami untuk tidak mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tanpa menyebutkan jangka waktunya sekalipun.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam, ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Sedangkan menurut hukum Islam ila’ ialah sumpah suami dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati kepada istrinya itu baik secara mutlak maupun dibatasi dengan ucapan selamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih..
Ila’ merupakan tradisi orang-orang jahiliyah Arab dengan maksud untuk menyakiti istrinya dengan cara tidak menggauli dan membiarkan istrinya menderita berkepanjangan tanpa ada kepastian apakah dicerai atau tidak.
Setelah Islam datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara membatasi waktu Ila’ paling lama empat bulan. Dengan demikian, apabila masa empat bulan itu sudah lewat, suami harus memilih rujuk atau talak. Apabila yang dipilih rujuk, suami harus membayar kafarat sumpah. Namun, jika yang dipilih talak, akan jatuh talak bain sugra.
Karena ila’ ini menyebabkan kesengsaraan istri, dimana istri tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan, maka Allah menurunkan firman-Nya Q.S. Al Baqarah:226
Artinya:’’ kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.’’[5]
Jika suami bersumpah (melakukan ila’) tidak akan bercampur dengan istrinya hanya empat bulan atau kurang dari itu, kemudian ia bercampur sebelum waktu tersebut, wajiblah ia membayar kafarat, yaitu dengan memerdekakan budak atau memberi makan dua belas fakir miskin, atau berpuasa selama tiga hari.[6]
Apabila batas waktu 4 bulan telah berlaku dan suami tidak kembali kepada istrinya maka terjadilah perceraian antara suami istri tersebut. Proses perceraian tersebut dapat melalui talak atau istrinya mengadukan permasalahannya kepada hakim di pengadilan dan hakim menetapkan perceraian itu.[7]

2.      Konsep Ila’
Hal-hal yang berhubungan tentang perkawinan di Indonesia diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 yang mana di dalamnya juga mengatur tentang sebab putusnya perkawinan atau cerai, namun didalam pasal 39 ayat 2 disebutkan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai  dengan alasan yang sudah ditentukan dan salah satu ynag mentebabkan putusnya hubungan perkawinan atau perceraian yaitu ila’.

3.      Rukun Ila’
sumpah (ucapan), suami kepada isteri. Beberapa contoh ucapan ila’ diantaranya adalah:
a.       Demi Allah, saya tidak akan menggauli istriku.
b.      Demi kekuasaan Allah, saya tidak akan mencampuri istriku selama lima bulan.
c.       Demi Allah, saya tidak akan mendekati istriku.

5.      Akibat Ila’
Allah SWT menentukan batas waktu empat bulan bagi suami yang meng-ila’ istrinya mengandung hikmah pengajaran bagi suami maupun bagi istri. Suami menyatakan ila’ kepada istrinya pastilah karena sesuatu kebencian yang timbul karena keduanya.
Bagi suami yang meng-ila’ istrinya kemudian diwajibkan untuk menjauhi istrinya selama empat bulan untuk menimbulkan kerinduan kepada istrinya serta menyesali sikapnya yang sudah lalu, memperbaiki diri sebagai bekal sikap yang sudah lalu.
Dalam hal ini, apabila seorang suami berbaik kembali kepada istrinya maka diwajibkan untuk membayar kafarah sumpah karena telah mempergunakan nama Allah untuk kepentingan dirinya. Kafarah sumpah itu berupa:
a.       Menjamu atau menjamin makanan bagi sepuluh orang miskin.
b.      Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin.
c.       Memerdekakan seorang budak.
d.      Kalau tidak melakukan salah dari tiga hal tersebut maka kafarahnya adalah berpuasa selama tiga hari berturut-turut. Setelah menunggu empat bulan kebencian hati suami tidak berubah atau terpengaruh atau melunak dan tetap tidak memperdulikan istrinya maka dengan itu suami dapat menjatuhkan talaknya.
e.       Bagi istri yang di-ila’ oleh suaminya, pengucilan oleh suaminya itulah yang menjadi suatu pelajaran baginya. Yakni, memberi kesempatan memikirkan sikap non simpatiknya yang telah lalu, menyadari kekurangannya dalam melayani suami selama ini.

D. Dzihar
1.      Pengertian Dzihar
Dzihar di ambil dari kata azh-Zahr yang berarti punggung atau tulang belakang. Secara terminologi, dzhihar adalah perilaku suami yang menyerupakan istrinya dengan perempuan yang menjadi mahramnya secara permanen. Contohnya adalah ucapan suami kepada istrinya: "Anti Alayya Kazahri Ummi,", yang artinya, “Bagiku, engkau seperti punggung ibuku’’. Ucapan itu dimaksudkan bahwa ia sudah tidak boleh menggauli istrinya sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al Mujadilah: 2
Artinya:’’orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya), padahal Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.[8]
Menzihar tersebut maksudnya suami haram menggauli istrinya untuk selama-lamanya. Pada zaman Jahiliyyah zihar adalah sama dengan talak. Setelah Islam datang, dzihar bukan talak, dzihar adalah perbuatan yang terkutuk dan haram hukumnya. Dan orang yang mendzihar istrinya harus membayar kafarat. Adapun kafaratnya:
a.       memerdekakan budak.
b.      apabila tidak mampu, berpuasa 2 bulan berturut-turut.
c.       apabila tidak mampu, memberi makan sebanyak 60 orang miskin tiap-tiap orang (3 /4 liter ).
Tingkatan ini harus dilakukan secara berurutan sebagaimana tersebut diatas. Ini berarti yang wajib dijalankan adalah yang pertama, jika yang pertama belum dapat untuk dijalankan, pihak suami dapat menempuh jalan yang kedua  begitu juga apabila suami tidak dapat menempuh  jalan  yang kedua, maka ia boleh menempuh jalan yang ketiga.
Dzihar pada zaman jahiliah merupakan cara untuk menceraikan istrinya, dzihar juga merupakan kebiasaan masyarakat Arab kuno dalam menghukum atau menzalimi isterinya. Setelah Islam datang, Islam melarang perbuatan itu. Dzihar sebagai tindakan menyerupakan isteri dengan perempuan yang diharamkan (mahram) baginya dengan tujuan mengharamkan sang isteri bagi dirinya dan mengharamkan orang lain untuk menikahinya karena belum dicerai.
           
2.      Rukun Dzihar
Rukun dzhihar adalah sebagai berikut: suami, istri, perkara yang diserupakan dan lafazd dzihar. Oleh adat jahiliyah, dzhihar dimaksudkan sebagai talak, lantas Islam menghapus hukum tersebut dan menggantinya dengan membayar kafarat. Orang yang mengucapkan dzhihar, wajib baginya menarik kembali dan wajib membayar kafarat dengan memerdekakan seorang budak sebelum bercampur. Jika ia tak mampu, ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Kalau tidak mampu, ia harus memberi makan enam puluh orang miskin, yang setiap orangnya mendapat bagian satu mud. Dan suami yang telah menzhihar istrinya, tidak halal menggaulinya sampai ia membayar kafarat.

3.      Ketentuan Hukum Dzihar
Dasar hukum mengenai pengaturan dzihar ini terdapat dalam surah Al-Mujadilah ayat 2-4 dan surah Al-Ahzab ayat 4.
Artinya: “orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (QS. Al-Mujaadilah:2-4)[9]

Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahzab:4)[10]
Adapun yang menjadi sebab turunya ayat dzhihar ini ialah kasus persoalan wanita yang bernama khaula binti Tsa’labah yang dizihar oleh suaminya yakni Aus bin Shomit, yaitu dengan mengatakan kepada istrinya: ”Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku“, dengan maksud ia tak boleh menggauli istri sebagaimana ia tak boleh untuk menggauli ibunya. Menurut zaman jahiliyah kalimat dzihar seperti sudah sama dengan mentalak istri. Kemudian khaulah mengadukan halnya kepada Rasulullah SAW dan beliau menjawab bahwa dalam hal ini belum ada suatu keputusan Allah. Selanjutnya, pada riwayat lain, Rasulullah mengatakan: “Engkau telah diharamkan bersetubuh denganya”. Lalu kemudian Khaulah berkata “suamiku belum menyebut kata-kata talak” berulangkali khaulah mendesak Rasulullah SAW supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah Al-Mujadilah ayat 2-4 dan ayat-ayat berikutnya, yakni surah Al-Ahzab ayat 4.
Dari hukum-hukum tersebut maka dapat dikatakan bahwa dzihar merupakan ucapan kasar yang dilontarkan oleh suami kepada istrinya dengan menyerupakan istri itu dengan ibu atau mahram suami sehingga dengan ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan istribagi suaminya.

4.      Akibat Dzihar
Syari’at islam datang untuk memperbaiki masyarakat dan mendidiknya dan mensterilkannya menuju suatu kemaslahatan. Hukum Islam menjadikan ucapan dzihar itu berakibat hukum yang bersifat ukhrawi dan duniawi. Akibat hukum dzhihar yang bersifat duniawi adalah menjadi haramnya suami menggauli istrinya yang dizhihar sampai suami melaksanakan kaffarah dzhihar sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulangi perkataan dan sikapnya yang buruk tersebut. Sedang yang bersifat ukhrawi adalah bahwa zhihar adalah perbuatan dosa, orang yang mengucapkan kata Zhuhar tersebut berarti berdosa, dan untuk membersihkanya maka wajib untuk bertaubat dan memohon ampunan Allah.

E. Li’an
1.      Pengertian Li’an
Menurut bahasa Li’an berasal dari kata “La’ana”, yang artinya laknat, sebab suami istri pada ucapan kelima saling bermula’anah dengan kalimat: “sesungguhnya padanya akan jatuh laknat Allah, jika Ia tergolong orang yang telah berbuat dosa.” Sedangkan menurut istilah syara’, li’an berarti sumpah seorang suami di muka hakim bahwa ia berkata benar tentang suatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina. Jadi, suami menuduh istrinya berbuat zina tanpa adanya saksi, kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut. Dengan begitu li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian yang kelima disertai persyaratan bahwa sang suami bersedia untuk menerima laknat Allah apabila ia berdusta atas tuduhannya. Li‘an berlaku apabila terjadinya qazaf yaitu suami menuduh isterinya berlaku zina atau menafikan anak yang dikandungkan oleh isterinya sebagai anak.
Apabila seseorang menuduh orang lain berzina, sedangkan saksi yang cukup tidak ada, orang itu dikenai hukuman dera (dipukul atau dicambuk) sebanyak 80 kali. Akan tetapi jika yang menuduh adalah suaminya sendiri, suami dapat memilih dua hal, yaitu dikenai dera 80 kali atau ia meian istrinya. Akibatnya hukum yang terjadi apabila li’an suami itu benar adalah:
a.       suami tidak dikenai hukuman.
b.      Istri wajib dikenai hukuman dera 80 kali.
c.       Suami istri bercerai selama-lamanya.
d.      Kalau ada anak, anak tersebut tidak dapat diakui oleh suami.


2.      Akibat Hukum
Ada lima akibat hukum yang akan terjadi setelah terjadinya li’an yaitu :
a.       Suami terlepas dari had
b.      Kewajiban had bagi istri
c.       Lepasnya ikatan perkawinan untuk selama-lamanya
d.      Lepasnya hubungan nasab di antara anak dengan bapaknya
e.       Haram bagi mantan suami menikah lagi dengan mantan istrinya.
Dan bagi si istri masih ada cara untuk membela diri agar bisa terhindar dari had yaitu dengan cara melakukan li’an juga. Sedangkan tata caranya seperti halnya di atas, Cuma kalimat yang harus diucapkan yang berbeda. Adapun kalimat yang diucapkan sebagai berikut : “Demi Allah suami saya itu berdusta”. Dan kemudian berkata “Demi Allah kemurkaan Allah akan menimpa saya jika suami saya itu benar”.
Ketentuan had bagi suami itu apabila istri yang dituduh zina bukan tergolong anak-anak dan perawan yang sama masih belum dijima’, apabila tergolong, maka konsekuensinya bukan bernama had akan tetapi ta’zir.
Suami tetap di had, walaupun pada saat menuduh zina dalam keadaan hilang ingatan, apabila hal tersebut memang disengaja seperti mabuk-mabukan. Sedangkan had bagi orang tersebut yaitu 80 cambukan jika berstatus merdeka dan 40 cambukan jika berstatus budak. Sedangkan masalah ta’zir itu tidak ada batasan yang seperti: dalam arti tergantung situasi dan kondisi yang ada.

3.      Hukum-Hukum yang Menimpa Orang yang Melakukan Li’an
Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :
a.       Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist: Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi saw memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya”.
b.      Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya. Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang suami isteri yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.”
c.       Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar. Dari Ayyub bin Sa’id bin Jubair, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar ra, "Wahai Ibnu Umar, bagaimana kedudukan seorang suami yang menuduh isterinya berbuat serong?" Jawab Ibnu Umar, “Nabi saw pernah menceraikan antara dua orang yang bersaudara (yaitu suami isteri) dari Bani ’Ajlan, dan Beliau bersabda (kepada keduanya), “Allah mengetahui bahwa seorang di antara kalian berdua pasti berbohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka berdua enggan (memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu, adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka enggan, lalu Nabi pun bersabda, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran Beliau). Maka selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya.” Ayyub berkata, “Kemudian Amr bin Dinar mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya di dalam hadist tersebut ada sebagian yang saya perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang bermula’anah itu menanyakan, “Mana hartaku (maharku)?” Dijawab (oleh Nabi saw), “Tidak ada harta (mahar) bagimu. Jika kamu jujur, berarti kamu sudah pernah bercampur dengannya; jika kamu bohong, maka ia (mahar) itu kian jauh darimu”.
d.      Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya). Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan untuk mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu Rasulullah serahkan kepada isterinya”.
e.       Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya. Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah Nabi saw, sesudah suami isteri yang bermula’anah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau saw berlaku mengenai hak warisnya, dimana ia (ibu tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun berhak menjadi ahli warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya”.

4.      Dasar Hukum Pengaturan Li’an
Dasar hukum pengaturan Li’an ini termaktub pada firman Allah surat An-Nuur ayat 6-7 yang artinya: “Adapun orang yang menuduh isterinya berzina sedangkan mereka tidak ada saksi (empat orang) kecuali hanya dirinya sahaja maka persaksian bagi orang yang menuduh itu hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali bahawa sesungguhnya dia adalah orang yang benar. Dan sumpahan yang kelima bahawa laknat Allah akan menimpanya jika dia berdusta. Dan untuk menghindarkan seksa terhadap isteri yang tertuduh itu hendaklah si isteri bersumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali bahawa sumpahan yang kelima hendaklah dia berkata kemungkaran Allah akan menimpa dirinya”.[11]
Kemudian terhadap tuduhan suami tersebut istri dapat menyangkalnya dengan sumpah kesaksian sebanyak empat kali bahwa suami itu berdusta dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian yang kelima disertai pernyataan bahwa istri bersedia untuk menerima marah dari Allah jika suaminya memang benar dalam tuduhannya. Dengan terjadinya sumpah li’an ini maka terjadilah suatu perceraian antara suami istri tersebut dan keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selama-lamanya.[12]


[1] Depertemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya
[2] Sayyid Sabiq, Usul Fikih Juz 8, (Bandung: Al-Ma’arif, 1990), h. 125.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4 Terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta: Cakrawala, 2009), hlm. 104.
[4] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 106-107.
[5] Depertemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya
[6] Hafizh al Mundzir, At Taghrib Wat Tarhib, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), h. 172.
[7] Djamaan Nur,  Fiqih Munakahat, (Semarang : Dina Utama, 1993),  h. 162.
[8] Depertemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 238-239.

0 komentar:

Posting Komentar