1.
Pengertian Khulu’
Menurut bahasa,
khuluk yaitu berasal dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya
melepaskan pakaian, karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian
isteri. Menurut istilah yaitu permintaan cerai yang diajukan oleh istri
terhadap suami dengan memberikan ganti rugi sebagai tebusan, yakni istri
memisahkan dirinya dari suaminya dangan memberikan ganti rugi kepadanya.
Khulu’ Ia juga
dikenali sebagai ‘Tebus Talaq’ yang bermaksud pembubaran perkawinan yang
diperolehi oleh seorang isteri dengan membayar kepada suaminya dengan sesuatu
benda yang berharga di mana kadar benda tersebut adalah berdasarkan persetujuan
antara suami dan isteri berkenaan atau berdasarkan kepada keputusan qadhi.
Dengan kata lain khulu’ adalah talak tebus, yaitu talak yang dijatuhkan oleh
suami dengan ‘iwad (tebusan) oleh istri kepada suami. Hal ini adalah
berdasarkan pengertian yang diambil dari sebuah hadits Rasulullah SAW yang
artinya: Dari Ibnu Abbas RA bahwa isteri Thabit bin Qais telah datang berjumpa
Rasulullah SAW lantas berkata “wahai
Rasulullah, saya hendak meminta cerai dari suami saya dan tidak ada cacian
terhadapnya tentang perangainya dan keagamaannya tetapi saya benci akan sifat
kekufuran yang ada padanya sedangkan saya seorang Islam.” Maka sabda
Rasulullah SAW “Adakah engkau bersedia
mengembalikan kebunnya yang telah diberikan kepada kamu sebagai mas kahwin?” Jawabnya:
“Ya saya bersedia.” Lalu baginda
menyuruh Thabit bin Qais menerima kembali kebunnya dan menceraikan isterinya. Maka
Thabit menerima perintah baginda dan diceraikan isterinya. (HR. Bukhari dan
an-Nasa’i)
Secara umumnya apa
saja yang boleh dijadikan mahar (mas kahwin) boleh dijadikan bayaran khulu’, yaitu
setiap barang yang bernilai atau mempunyai manfaat dan ditentukan secara pasti
tentang benda dan faedah yang hendak digunakan sebagai bayaran khulu’ tersebut.
Di antara kesan
khulu’ ialah bekas suami tidak boleh rujuk kepada bekas isterinya, bekas suami
tidak boleh menambah talaq ke atas bekas isterinya, bekas suami tidak boleh
menambah talaq ke atas bekas isterinya dalam waktu ‘iddah dan suami juga tidak
boleh menikahi bekas isterinya kecuali dengan akad dan mas kahwin yang baru.
Iddah bagi
isteri yang dikhulu’ adalah sekali haid dan pembubaran menerusi khulu’ ini
boleh dilakukan pada bila-bila masa yaitu waktu suci atau waktu isteri sedang
haid. Maka berdasarkan khulu’ ini inisiatif untuk perceraian datang dari pihak
isteri sendiri dan alasan yang boleh diterima oleh syarak.
Walaupun isteri
mempunyai hak untuk memohon fasakh dan khulu‘, tetapi Rasulullah SAW menuntut
agar ia tidak dilakukan dengan sewenang-wenangnya. Rasulullah SAW bersabda yang
artinya: Mana-mana perempuan yang memohon cerai daripada suaminya tanpa
sebab yang munasabah maka haram ke atasnya bau syurga. (HR. Bukhari,
Muslim, Tirmizi, Abu Daud dan Ahmad)
2.
Dalil
Pensyari‘atan Khulu’
Firman Allah
SWT dalam Q.S al-Baqarah: 229 yang artinya: “Dan tidak halal bagi kamu
mengambil balik sesuatu dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka
(isteri-isteri yang diceraikan itu) kecuali jika keduanya (suami dan isteri)
takut tidak dapat menegakkan peraturan hukum Allah, maka tidaklah mereka
berdosa mengenai bayaran (tebus talak) yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya (dan mengenai pengambilan suami tentang bayaran itu). Itulah peraturan-
peraturan hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya, dan siapa yang
melanggar peraturan-peraturan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang
zalim”.[1]
3.
Syarat Sah
Khuluk‘
a.
Suami: Baligh, berakal, mukhtar
(bebas) melakukan khulu‘ bukan dipaksa.
b.
Isteri: Hendaklah seorang yang boleh
menguruskan harta dan mukallaf.
c.
Lafaz khulu‘: Hendaklah disebut
dengan terang, contoh: Suami berkata “Aku talaq kamu dengan bayaran sekian banyak’. Atau isteri berkata “Aku menebus
talaq ke atas diriku dengan bayaran sekian banyak.”
d.
Bayaran khulu‘: Hendaklah dijelaskan
dengan jumlah yang tertentu.
4. Hal yang Menjadi Alasan Dilakukannya
khulu’
Khuluk dapat dilakukan apabila ada
alasan-alasan sebagai berikut :
a.
Istri sangat membenci suaminya
karena sebab-sebab tertentu dan dikhawatirkan istri tidak dapat mematuhi
suaminya.
b.
Suami istri dikhawatirkan tidak
dapat menciptakan rumah tangga bahagia dan akan menderita apabila pernikahan
dipertahankan. Seperti yang terdapat di dalam hadits yang artinya: Dari Ibnu
Abbas R.A. bahwasannya istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi Muhammad Saw, dan
berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak suka (durhaka kepada suami) setelah
masuk Islam.” Maka Rasulullah Saw, bertanya, “Apakah kamu mau
mengembalikan kebunnya?” ia menjawab “Ya” Rasulullah Saw. Bersabda
(kepada Tsabit bin Qais), “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah sekali.” (HR.Bukhari)
B.
Fasakh
1.
Pengertian
Faskh
Secara bahasa, fasakh
berasal dari bahasa arab yakni fasakha (فسخ) artinya rusak. Menurut Kamal Mukhtar, fasakh
diartikan sebagai “mencabut” atau
“menghapus” yang berarti perceraian
yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat baik oleh suami
maupun istri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup lagi mencapai tujuan
rumah tangga bersama. Dengan kata lain fasakh ialah membatalkan atau pembubaran
akad nikah disebabkan oleh kecacatan yang berlaku pada waktu akad atau
kecacatan yang mendatang selepas berlakunya akad nikah yang menghalang kekalnya
perkahwinan.
Fasakh disyariatkan dalam rangka menolak kemudharatan dan diperbolehkan bagi
seorang istri yang sudah mukallaf atau baligh dan berakal. Suami memiliki hak menalak,
sedang bagi perempuan disediakan lembaga fasakh. Dengan demikian, keduanya
memiliki hak yang sama dalam upaya menghapus atau mencabut suatu ikatan rumah
tangga karena adanya penyebab tertentu yang dibenarkan menurut hukum.
Fasakh bisa
disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad
nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan
kelangsungan pernikahan.
2. Syarat
Fasakh bisa terjadi karena:
a.
Syarat-syarat
yang tidak terpenuhi pada aqad nikah:
1) Suami istri adalah saudara sesusuan
2) Suami-istri di
waktu kecil diaqadkan oleh selain ayah dan kakeknya, kemudian setelah dewasa
mereka berhak memilih antara melanjutkan aqad nikahnya atau membatalkannya
(khiyar baligh). Jika yang
dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini mengakibatkan perkawinan
mereka fasakh (fasakh Baligh).
b.
Hal-hal lain
yang datang kemudian yang membatalkan perkawinan:
1)
Bila salah
seorang dari suami istri murtad dari Islam dan tidak mau kembali sama sekali.
Maka aqad nikahnya batal (fasakh) disebabkan karena kemurtadan yang terjadi
belakangan.
2)
Jika suami yang kafir masuk Islam,
tetapi istri tetap pada kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka
perkawinannya batal (fasakh). Kecuali isterinya seorang ahli kitab. Karena perkawinan
dengan ahli kitab diperbolehkan, maka perkawinan tidak batal. Sebab
perkawinan dengan wanita ahli kitab itu dari semula dipandang sah.[2]
Fasakh baik disebabkan adanya sesuatu yang mengharuskan berakhirnya akad nikah
ataupun karena adanya sesuatu yang membatalkan akad nikah, adalah mengakhiri
ikatan perkawinan dengan seketika.[3]
3.
Sebab-Sebab Terjadi Fasakh
a.
Karena ada balak (penyakit belang kulit)
b.
Karena gila
c.
Karena canggu (penyakit kusta)
d.
Karena ada penyakit menular padanya,
seperti sipilis, TBC, dan lain-lain.
e.
Suami miskin. Apabila suami tidak
memiliki kesanggupan untuk menafkahi keluarga, bahkan menimbulkan kesusahan dan
penderitaan bagi keluarganya, pihak istri berhak melakukan fasakh.
C. Ila’
1.
Pengertian Ila’
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut
syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri.
Kata “Ila’”
menurut bahasa merupakan masdar dari kata “ala-ykli-laan”, yang artinya sumpah.
Menurut istilah Ila’ berarti sumpah suami untuk tidak mencampuri istrinya dalam
masa lebih dari empat bulan atau tanpa menyebutkan jangka waktunya sekalipun.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan
islam, ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual
dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk
menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan
menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup
tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Sedangkan
menurut hukum Islam ila’ ialah sumpah suami dengan menyebut nama Allah atau
sifat-Nya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati kepada istrinya
itu baik secara mutlak maupun dibatasi dengan ucapan selamanya, atau dibatasi
empat bulan atau lebih..
Ila’ merupakan
tradisi orang-orang jahiliyah Arab dengan maksud untuk menyakiti istrinya
dengan cara tidak menggauli dan membiarkan istrinya menderita berkepanjangan
tanpa ada kepastian apakah dicerai atau tidak.
Setelah Islam
datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara membatasi waktu Ila’ paling lama
empat bulan. Dengan demikian, apabila masa empat bulan itu sudah lewat, suami
harus memilih rujuk atau talak. Apabila yang dipilih rujuk, suami harus
membayar kafarat sumpah. Namun, jika yang dipilih talak, akan jatuh talak bain
sugra.
Karena ila’ ini
menyebabkan kesengsaraan istri, dimana istri tidak disetubuhi dan tidak pula
diceraikan, maka Allah menurunkan firman-Nya Q.S. Al Baqarah:226
Artinya:’’
kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap
hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.’’[5]
Jika suami
bersumpah (melakukan ila’) tidak akan bercampur dengan istrinya hanya empat
bulan atau kurang dari itu, kemudian ia bercampur sebelum waktu tersebut,
wajiblah ia membayar kafarat, yaitu dengan memerdekakan budak atau memberi
makan dua belas fakir miskin, atau berpuasa selama tiga hari.[6]
Apabila batas
waktu 4 bulan telah berlaku dan suami tidak kembali kepada istrinya maka
terjadilah perceraian antara suami istri tersebut. Proses perceraian tersebut
dapat melalui talak atau istrinya mengadukan permasalahannya kepada hakim di
pengadilan dan hakim menetapkan perceraian itu.[7]
2.
Konsep Ila’
Hal-hal yang
berhubungan tentang perkawinan di Indonesia diatur dalam UU No.1 Tahun 1974
yang mana di dalamnya juga mengatur tentang sebab putusnya perkawinan atau cerai,
namun didalam pasal 39 ayat 2 disebutkan bahwa perceraian dapat dilakukan
apabila sesuai dengan alasan yang sudah ditentukan dan salah satu ynag
mentebabkan putusnya hubungan perkawinan atau perceraian yaitu ila’.
3.
Rukun Ila’
sumpah (ucapan), suami kepada
isteri. Beberapa contoh ucapan ila’ diantaranya adalah:
a.
Demi Allah, saya tidak akan
menggauli istriku.
b.
Demi kekuasaan Allah, saya tidak
akan mencampuri istriku selama lima bulan.
c.
Demi Allah, saya tidak akan
mendekati istriku.
5.
Akibat Ila’
Allah SWT
menentukan batas waktu empat bulan bagi suami yang meng-ila’ istrinya
mengandung hikmah pengajaran bagi suami maupun bagi istri. Suami menyatakan ila’
kepada istrinya pastilah karena sesuatu kebencian yang timbul karena keduanya.
Bagi suami yang
meng-ila’ istrinya kemudian diwajibkan untuk menjauhi istrinya selama
empat bulan untuk menimbulkan kerinduan kepada istrinya serta menyesali
sikapnya yang sudah lalu, memperbaiki diri sebagai bekal sikap yang sudah lalu.
Dalam hal ini,
apabila seorang suami berbaik kembali kepada istrinya maka diwajibkan untuk
membayar kafarah sumpah karena telah mempergunakan nama Allah untuk kepentingan
dirinya. Kafarah sumpah itu berupa:
a.
Menjamu atau menjamin makanan bagi
sepuluh orang miskin.
b.
Memberi pakaian kepada sepuluh orang
miskin.
c.
Memerdekakan seorang budak.
d.
Kalau tidak melakukan salah dari
tiga hal tersebut maka kafarahnya adalah berpuasa selama tiga hari
berturut-turut. Setelah menunggu empat bulan kebencian hati suami tidak berubah
atau terpengaruh atau melunak dan tetap tidak memperdulikan istrinya maka
dengan itu suami dapat menjatuhkan talaknya.
e.
Bagi istri yang di-ila’ oleh
suaminya, pengucilan oleh suaminya itulah yang menjadi suatu pelajaran baginya.
Yakni, memberi kesempatan memikirkan sikap non simpatiknya yang telah lalu,
menyadari kekurangannya dalam melayani suami selama ini.
D. Dzihar
1.
Pengertian
Dzihar
Dzihar di ambil dari kata azh-Zahr yang berarti punggung atau tulang
belakang. Secara
terminologi, dzhihar adalah perilaku suami yang menyerupakan istrinya dengan
perempuan yang menjadi mahramnya secara permanen. Contohnya adalah ucapan suami
kepada istrinya: "Anti
Alayya Kazahri Ummi,", yang artinya, “Bagiku, engkau
seperti punggung ibuku’’. Ucapan itu dimaksudkan bahwa ia sudah tidak boleh
menggauli istrinya sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam Q.S. Al Mujadilah: 2
Artinya:’’orang-orang
yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya),
padahal Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.[8]
Menzihar tersebut maksudnya suami haram
menggauli istrinya untuk selama-lamanya. Pada zaman Jahiliyyah zihar adalah
sama dengan talak. Setelah Islam datang, dzihar bukan talak, dzihar adalah
perbuatan yang terkutuk dan haram hukumnya. Dan orang yang mendzihar istrinya harus membayar kafarat. Adapun
kafaratnya:
a.
memerdekakan budak.
b.
apabila tidak mampu, berpuasa 2
bulan berturut-turut.
c.
apabila tidak mampu, memberi makan
sebanyak 60 orang miskin tiap-tiap
orang (3 /4 liter ).
Tingkatan ini harus dilakukan secara berurutan sebagaimana tersebut
diatas. Ini berarti yang wajib dijalankan adalah yang pertama, jika yang
pertama belum dapat untuk dijalankan, pihak suami dapat menempuh jalan yang
kedua begitu juga apabila suami tidak dapat menempuh jalan
yang kedua, maka ia boleh menempuh jalan yang ketiga.
Dzihar pada
zaman jahiliah merupakan cara untuk menceraikan istrinya, dzihar juga merupakan kebiasaan masyarakat Arab kuno dalam menghukum atau menzalimi
isterinya. Setelah Islam datang, Islam melarang perbuatan itu. Dzihar sebagai tindakan menyerupakan isteri
dengan perempuan yang diharamkan (mahram) baginya dengan tujuan mengharamkan sang isteri bagi
dirinya dan mengharamkan orang lain untuk menikahinya karena belum dicerai.
2.
Rukun Dzihar
Rukun dzhihar
adalah sebagai berikut: suami, istri, perkara yang diserupakan dan lafazd
dzihar. Oleh adat jahiliyah, dzhihar dimaksudkan sebagai talak, lantas Islam
menghapus hukum tersebut dan menggantinya dengan membayar kafarat. Orang yang
mengucapkan dzhihar, wajib baginya menarik kembali dan wajib membayar kafarat
dengan memerdekakan seorang budak sebelum bercampur. Jika ia tak mampu, ia
harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Kalau tidak mampu, ia harus memberi
makan enam puluh orang miskin, yang setiap orangnya mendapat bagian satu mud.
Dan suami yang telah menzhihar istrinya, tidak halal menggaulinya sampai ia
membayar kafarat.
3.
Ketentuan Hukum Dzihar
Dasar hukum
mengenai pengaturan dzihar ini terdapat dalam surah Al-Mujadilah ayat 2-4 dan
surah Al-Ahzab ayat 4.
Artinya: “orang-orang
yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya,
padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang
tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
(QS. Al-Mujaadilah:2-4)[9]
Artinya: “Allah
sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan
Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang
demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahzab:4)[10]
Adapun yang
menjadi sebab turunya ayat dzhihar ini ialah kasus persoalan wanita yang
bernama khaula binti Tsa’labah yang dizihar oleh suaminya yakni Aus bin Shomit,
yaitu dengan mengatakan kepada istrinya: ”Kamu
bagiku sudah seperti punggung ibuku“, dengan maksud ia tak boleh menggauli
istri sebagaimana ia tak boleh untuk menggauli ibunya. Menurut zaman jahiliyah
kalimat dzihar seperti sudah sama dengan mentalak istri. Kemudian khaulah
mengadukan halnya kepada Rasulullah SAW dan beliau menjawab bahwa dalam hal ini
belum ada suatu keputusan Allah. Selanjutnya, pada riwayat lain, Rasulullah
mengatakan: “Engkau telah diharamkan
bersetubuh denganya”. Lalu kemudian Khaulah berkata “suamiku belum menyebut kata-kata talak” berulangkali khaulah mendesak
Rasulullah SAW supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga
kemudian turunlah Al-Mujadilah ayat 2-4 dan ayat-ayat berikutnya, yakni surah
Al-Ahzab ayat 4.
Dari
hukum-hukum tersebut maka dapat dikatakan bahwa dzihar merupakan ucapan kasar
yang dilontarkan oleh suami kepada istrinya dengan menyerupakan istri itu
dengan ibu atau mahram suami sehingga dengan ucapan itu dimaksudkan untuk
mengharamkan istribagi suaminya.
4.
Akibat Dzihar
Syari’at islam datang untuk memperbaiki masyarakat dan mendidiknya dan
mensterilkannya menuju suatu kemaslahatan. Hukum Islam menjadikan ucapan dzihar
itu berakibat hukum yang bersifat ukhrawi dan duniawi. Akibat hukum dzhihar
yang bersifat duniawi adalah menjadi haramnya suami menggauli istrinya yang
dizhihar sampai suami melaksanakan kaffarah dzhihar sebagai pendidikan baginya
agar tidak mengulangi perkataan dan sikapnya yang buruk tersebut. Sedang yang
bersifat ukhrawi adalah bahwa zhihar adalah perbuatan dosa, orang yang
mengucapkan kata Zhuhar tersebut berarti berdosa, dan untuk membersihkanya maka
wajib untuk bertaubat dan memohon ampunan Allah.
E. Li’an
1.
Pengertian Li’an
Menurut bahasa
Li’an berasal dari kata “La’ana”, yang artinya laknat, sebab suami istri
pada ucapan kelima saling bermula’anah dengan kalimat: “sesungguhnya padanya
akan jatuh laknat Allah, jika Ia tergolong orang yang telah berbuat dosa.”
Sedangkan menurut istilah syara’, li’an berarti sumpah seorang suami di muka
hakim bahwa ia berkata benar tentang suatu yang dituduhkan kepada istrinya
perihal perbuatan zina. Jadi, suami menuduh istrinya berbuat zina tanpa adanya
saksi, kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut. Dengan begitu li’an
ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina
dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam
tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian yang kelima disertai persyaratan
bahwa sang suami bersedia untuk menerima laknat Allah apabila ia berdusta atas
tuduhannya. Li‘an berlaku apabila terjadinya qazaf yaitu suami menuduh
isterinya berlaku zina atau menafikan anak yang dikandungkan oleh isterinya
sebagai anak.
Apabila
seseorang menuduh orang lain berzina, sedangkan saksi yang cukup tidak ada,
orang itu dikenai hukuman dera (dipukul atau dicambuk) sebanyak 80 kali. Akan
tetapi jika yang menuduh adalah suaminya sendiri, suami dapat memilih dua hal,
yaitu dikenai dera 80 kali atau ia meian istrinya. Akibatnya hukum yang terjadi
apabila li’an suami itu benar adalah:
a.
suami tidak dikenai hukuman.
b.
Istri wajib dikenai hukuman dera 80
kali.
c.
Suami istri bercerai selama-lamanya.
d.
Kalau ada anak, anak tersebut tidak
dapat diakui oleh suami.
2. Akibat Hukum
Ada lima akibat hukum yang akan terjadi setelah terjadinya li’an yaitu
:
a.
Suami
terlepas dari had
b.
Kewajiban
had bagi istri
c.
Lepasnya ikatan
perkawinan untuk selama-lamanya
d.
Lepasnya
hubungan nasab di antara anak dengan bapaknya
e.
Haram bagi
mantan suami menikah lagi dengan mantan istrinya.
Dan bagi si istri masih ada cara untuk membela diri agar bisa terhindar
dari had yaitu dengan cara melakukan li’an juga. Sedangkan tata caranya seperti
halnya di atas, Cuma kalimat yang harus diucapkan yang berbeda. Adapun kalimat
yang diucapkan sebagai berikut : “Demi Allah suami saya itu berdusta”.
Dan kemudian berkata “Demi Allah kemurkaan Allah akan menimpa saya jika
suami saya itu benar”.
Ketentuan had bagi suami itu apabila istri yang dituduh zina bukan
tergolong anak-anak dan perawan yang sama masih belum dijima’, apabila
tergolong, maka konsekuensinya bukan bernama had akan tetapi ta’zir.
Suami tetap di had, walaupun pada saat menuduh zina dalam keadaan hilang
ingatan, apabila hal tersebut memang disengaja seperti mabuk-mabukan. Sedangkan had bagi orang tersebut
yaitu 80 cambukan jika berstatus merdeka dan 40 cambukan jika berstatus budak.
Sedangkan masalah ta’zir itu tidak ada batasan yang seperti: dalam arti
tergantung situasi dan kondisi yang ada.
3.
Hukum-Hukum yang Menimpa Orang yang Melakukan Li’an
Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau
li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :
a.
Keduanya
harus diceraikan, berdasarkan hadist: Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi
saw memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan
menceraikan antara keduanya”.
b.
Keduanya
haram ruju’ untuk selama-lamanya. Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang suami
isteri yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya,
kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.”
c.
Wanita yang
bermula’anah berhak memiliki mahar. Dari Ayyub bin Sa’id bin Jubair,
ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar ra, "Wahai Ibnu Umar, bagaimana kedudukan seorang suami yang menuduh
isterinya berbuat serong?" Jawab Ibnu Umar, “Nabi saw pernah menceraikan antara dua orang yang bersaudara (yaitu
suami isteri) dari Bani ’Ajlan, dan Beliau bersabda (kepada keduanya), “Allah
mengetahui bahwa seorang di antara kalian berdua pasti berbohong, karena itu
adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka berdua enggan
(memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti
bohong, karena itu, adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka enggan, lalu Nabi pun bersabda, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di
antara kalian berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau
bertaubat?” Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran Beliau). Maka
selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya.” Ayyub berkata, “Kemudian Amr bin Dinar mengatakan
kepadaku, ‘Sesungguhnya di dalam hadist tersebut ada sebagian yang saya
perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang bermula’anah itu
menanyakan, “Mana hartaku (maharku)?” Dijawab (oleh Nabi saw), “Tidak ada harta (mahar) bagimu. Jika kamu
jujur, berarti kamu sudah pernah bercampur dengannya; jika kamu bohong, maka ia
(mahar) itu kian jauh darimu”.
d.
Anak yang
lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri
(ibunya). Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan
untuk mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan
dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu
Rasulullah serahkan kepada isterinya”.
e.
Isteri yang
bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya. Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah Nabi saw, sesudah suami
isteri yang bermula’anah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya
dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau saw berlaku mengenai hak
warisnya, dimana ia (ibu tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan
anaknya pun berhak menjadi ahli warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan
untuknya”.
4.
Dasar Hukum
Pengaturan Li’an
Dasar hukum
pengaturan Li’an ini termaktub pada firman Allah surat An-Nuur ayat 6-7 yang
artinya: “Adapun orang yang menuduh isterinya berzina sedangkan mereka tidak
ada saksi (empat orang) kecuali hanya dirinya sahaja maka persaksian bagi orang
yang menuduh itu hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali
bahawa sesungguhnya dia adalah orang yang benar. Dan sumpahan yang kelima
bahawa laknat Allah akan menimpanya jika dia berdusta. Dan untuk menghindarkan
seksa terhadap isteri yang tertuduh itu hendaklah si isteri bersumpah dengan
nama Allah sebanyak empat kali bahawa sumpahan yang kelima hendaklah dia
berkata kemungkaran Allah akan menimpa dirinya”.[11]
Kemudian
terhadap tuduhan suami tersebut istri dapat menyangkalnya dengan sumpah
kesaksian sebanyak empat kali bahwa suami itu berdusta dalam tuduhannya,
kemudian pada sumpah kesaksian yang kelima disertai pernyataan bahwa istri
bersedia untuk menerima marah dari Allah jika suaminya memang benar dalam
tuduhannya. Dengan terjadinya sumpah li’an ini maka terjadilah suatu perceraian
antara suami istri tersebut dan keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali
untuk selama-lamanya.[12]
0 komentar:
Posting Komentar