Selasa, 17 Mei 2016

agar paham filsafat dalam perspektif islam, ini pelajarin aja..

A. Pengertian Metodologi Ilmiah dalam Islam
Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metodologi bisa diartikan ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Kata metode berasal dari bahasa yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri lalu berarti: penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu.
Metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu, metode kognitif yang betul untuk mencari kebenaran adalah lebih penting dari filsafat, sains, atau hanya mempunyai bakat.[1]
Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metode berpikir ilmiah merupakan prosedur, cara atau teknik dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah atau dengan kata lain bahwa suatu pengetahuan baru dapat disebut suatu ilmu apabila diperoleh melalui kerangka kerja ilmiah, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bias disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan metode ilmiah. Pendapat lain mengatakan bahwa metode ilmiah adalah sebuah prosedur yang digunakan ilmuwan dalam pencarian kebenaran baru. Dilakukan dengan cara kerja sistematis terhadap pengetahuan baru dan melakukan peninjauan kembali kepada pengetahuan yang telah ada. Tujuan dari penggunaan metode ilmiah adalah tuntutan supaya ilmu pengetahuan bisa terus berkembang seiring perkembangan zaman dan menjawab tantangan yang dihadapi.
Sedangkang yang dimaksud proses kegiatan ilmiah, menurut Riychia Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Secara ontologis ilmu membatasi masalah yang diamati dan dikaji hanya pada masalah yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan pengetahuan manusia. Jadi ilmu tidak mempermasalahkan tentang hal-hal di luar jangkauan manusia.
Di era modern ini dimana pemahaman terhadap sesuatu dengan mengedepankan logika, kajian studi Islam dituntut juga secara ilmiah tetapi tidak lepas dari dua sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dengan adanya kajian Islam secara ilmiah ini mampu membuat orang berwawasan luas dan mampu memahami Islam secara Ilmiah sesuai dengan perkembangan zaman dan bisa lebih toleran. Dalam hal ini akan membahas secara khusus:

1)      Pertama, Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan, meliputi:
a.       Perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan
Ilmu dalam Islam merupakan salah satu kekuatan penyangga. Allah pernah menunjukkan makna pena yang biasa dipakai menulis oleh para ulama, yaitu ketika Allah bersumpah demi pena melalui firman-Nya,
Demi kalam (pena) dan segala apa yang mereka tulis” (QS. Al-Qalam: 1)
Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah yang paling takut kepada-Nya hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28)
Allah menjunjung tinggi orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang yang berilmu pada beberapa tingkatan” (QS. Mujadalah:11)
Dari ayat-ayat di atas dapat dilihat begitu besarnya penghargaan kepada orang-orang yang berilmu. Nabi SAW. juga menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk belajar bahasa asing agar mereka memperoleh pengetahuan budaya bangsa lain. Dalam salah satu khutbahnya, Rasulullah memuji kelebihan orang-orang yang berilmu, mengingatkan kepada kaumnya bagi yang tidak mau mengajarkan ilmu yang diperoleh, dan memerangi orang-orang yang bermain dalam mencari ilmu.
b.      Integrasi agama dan ilmu pengetahuan
Islam merupakan agama yang memotivasi orang untuk mentransfer ilmu kepada yang lain. Kegiatan ini mampu melahirkan tradisi keilmuan dan akademik yang mapan, sebagaimana hal itu dikenal di Barat dengan sebutan metode ilmiah modern. Metode ini sekarang berhasil menumbuhkan budaya progresif di sana yang pada gilirannya telah menguasai dunia. Dari sini dapat dilihat bahwasannya budaya Islam yang telah ikut serta memajukan budaya barat adalah karena metode ilmiah itu.
Para ilmuwan Muslim menemukan toleransi dan kemudahan dalam agama, bahkan mereka mengajak menyingkap rahasia alam dan rahasia substansinya sehinga dapat ditundukkan guna keperluan manusia, memakmurkan alam ini dan mengembangkan kehidupannya.

c.       Universitas Islam dan sumbangannya terhadap ilmuwan dunia
Dalam buku The History of Science, Parnal menyatakan, “sesungguhnya para ilmuwan Muslim telah melaksanakan pengabdian kemanusiaan yang tak terhitung”. Para ilmuwan benar-benar berlomba dan memuliakan ilmu dan ulama. Diantara ilmuwan muslim itu adalah Jabir ibn Hayan, penyusun aljabar; Khawarazmi penemu logaritma; Khalil ibn Ahmad penemu dasar ensiklopedia dan ilmu ‘arudl; Imam Sibawaih menemukan filsafat bahasa Arab dan prinsip-prinsip dasar ilmu I’rab, dan lain sebagainya. Para mahasiswa banyak yang pergi ke Andalusia, Cisilia, dan seluruh ibukota Islam di Eropa untuk belajar pada guru Muslim. Mereka itu antara lain sebagai berikut:
1)      Pertama, Herbart yang berhasil menguasai deferensial di Roma pada akhir abad X M.
2)      Kedua, Nicolades yang melakukan perjalanan ke negara-negara Islam di akhir abad ke-13.
3)      Ketiga, al-Idrisi seorang ahli geograf yang terkenal. Ia menyusun pertama kali peta geografi dunia yang dicetak oleh Yayasan Ilmiah di Baghdad.
4)      Keempat, al-Wizan al-Fasi, seorang dokter Arab yang memperhatikan ilmu-ilmu Islam dan menyiarkannya pada bangsanya. Ia mempunyai andil dalam memajukan ilmu kedokteran di Eropa. Ia juga menyusun kamus kedokteran, di mana di dalamnya ia terjemahkan istilah-istilah kedokteran yang berbahasa Arab ke dalam bahasa latin dan Ibrani.
Para ilmuwan Muslim banyak yang lebih dahulu mengemukakan teorinya daripada ilmuwan yang lain. Imam Ghazali dengan kitabnya Al-Munqidl min al-Dlalal lebih dahulu daripada Dekkart. Qudamah ibn Ja’far telah mampu membuat pola bumi dan mengetahui pendeknya waktu siang di dua kutub. Pada tahun 595 H. Ibn Zuhri al-Andalusia mengarang Taisiir. Buku kedokteran pertama yang membahas bidang perawatan kesehatan tubuh.

d.      Paradigma penelitian ilmiah dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada kita dalam bidang keilmuan melalui pendekatan ilmiah dan pendekatan realistik. Pendekatan ilmiah sebagaimana disampaikan oleh Al-Qur’an didasarkan pada paradigma sebagai berikut.
Pertama, penggunaan eksperimen atau temuan-temuan baik terdahulu atau modern.
Kedua, penggunaan rasio dan eksperimen dalam mencari kebenaran sehingga ditemukan rumus-rumus untuk hal-hal yang belum diketemukan oleh orang lain.
Al-Qur’an juga menetapkan pedoman-pedoman operasional secara cermat bagi dua paradigma di atas untuk menjaga kemungkinan distorsi atau penyimpangan. Pedoman itu antara lain:
1)      Hendaklah seorang cendekiawan tidak menyimpan pengalaman-pengalaman serta ilmu-ilmu yang telah ia peroleh. Karena pada hakikatnya pengalaman bukan hanya miliknya, melainkan merupakan hidayah dan taufik dari Allah.
2)      Amanah ilmu seharusnya menempati posisi utama.
3)      Ilmu merupakan kebenaran universal bagi seluruh manusia.
4)      Tidak menyia-nyiakan waktu dalam berdiskusi, baik oleh pihak guru maupun oleh pihak murid. Diskusi yang dilakukan hendaknya tidak mendistorsi konsep yang menghambat kemajuan.
5)      Menrima hal-hal yang bermanfaat dan meninggalkan pembicaraan tidak berguna.
6)      Menyeleksi dan meneliti para calon pendidik yang hendak mentransfer pengetahuan kepada kita.
2)      Kedua, metodologi penelitian ilmiah, meliputi:
a.       Macam-macam penelitian akademik
b.      Langkah-langkah penelitian
Sehingga dapat kami simpulkan bahwa metodologi ilmiah dalam islam adalah merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari dan memahami Islam secara ilmiah.

B. Macam-macam Metodologi Ilmiah dalam Islam
Karena selama ini kata ilmiah cenderung diartikan kepada scientific yang mana hanya dibatasi pada bidang-bidang empiris saja. Padahal sebenarnya hal yang bersifat ilmiah itu jika kita sandarkan dari kata aslinya yakni ilmu, maka seharusnya tidak hanya dibatasi dalam bidang fisik saja, karena ilmu jenisnya bermacam-macam, ada yang bersifat inderawi dan juga ada yang bersifat non-inderawi. Jadi intinya, metode ilmiah adalah metode penelitian ilmu yang menggunakan berbagai macam metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Berikut adalah macam-macam dari metode ilmiah tersebut:

1.     Metode Bayani
Secara etimologi, bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al Jabiri berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikan sebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode bayani.
Metode bayani adalah metode yang merujuk kepada suatu teks yang mana teks tersebut diyakini memiliki kandungan pengetahuan. Karena hal ini djijalankan oleh umat Islam, maka sudah barang pasti bahwa Al-Qur’an dan hadits-lah yang dijadikan sebagai teks rujuakn tersebut. Metode bayani ini dilakukan setidaknya untuk mengurai ilmu yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadits.
Khususnya dalam Al-Qur’an, dari metode bayani inilah ayat-ayat Al-Qur’an menjadi terklasifikasikan, yakni ada pembagian muhkamat dan mutasyabihat, dzhahir dan mubayyan, dan lain sebagainya.

2.    Metode Irfani
Kata 'irfan adalah bentuk masdar dari kata 'arafa yang berarti ma'rifah (ilmu pengetahuan). Kemudian 'irfan lebih dikenal sebagai terminologi  mistik  yang  secara  khusus  berarti  "ma'rifah"  dalam pengertian "pengetahuan tentang Tuhan.”
Yakni metode setelah kita tahu bahwa pengetahuan yang kita dapat melewati indera tersebut sifatnya terbatas, bahkan jika kita telisik lebih dalam lagi bahwa sebenarnya realitas yang dapat kita indera tersebut banyak memiliki sifat ambigu, yang mana para ilmuwan muslim memiliki kesimpulan bahwa pengetahuan yang kita dapat dari penginderaan belum tentu itu merepresentasikan fakta, dan juga pengetahuan akal yang dikatakan melebihi dari pengetahuan indera akan tetapi masih saja membutuhkan metode lain untuk mengarahkannya kepada koridor kebenaran, maka para ilmuwan muslim khususnya dari kalangan sufi mengklaim bahwa ada satu metode lain yang dirasa lebih sempurna dari kedua metode tersebut. Metode tersebut irfani.
Metode irfani ini menggunakan hati/qalbu, yang sudah tidak hanya melihat ataupun mempersepsi lagi layaknya indera dan akal, akan tetapi hati sudah mampu merasakan. Karena metode ini menisbatkan pada pengalaman atau merasakan sesuatu, maka boleh jadi bahwa pendekatan irfani ini dapat mewakili sepenuhnya tentang pengetahuan tersebut. Kita contohkan saja kepada rasa rindu, maka sebelum kita benar-benar mengalamai rasa rindu tersebut, maka kita hanya bisa membayangkan saja rasa rindu tersebut melewati media akal yang mana tidak bisa dijanjikan kebenaran dari kesimpulannya.
Tentu saja tidak semua orang mampu memotensikan hatinya untuk merasakan realitas pengetahuan, maka dari itu dibutuhkan cara-cara agar kita dapat memotensikan hati kita agar dapat digunakan untuk merengkuh pengetahuan yakni dengan cara tazkiyah an-nafs, karena tergeraknya hati untuk menggapai pengetahuan membutuhkan jiwa yang bersih.

3.    Metode Tajribi
Metode tajribi adalah metode pengamatan objek fisik yang tentu saja alatnya dengan menggunakan indera, atau yang seringkali dilakukan oleh para peneliti barat yakni metode eksperimen. Dalam tradisi ilmiah Islam, pengamatan terhadap objek fisik dilakukan pada dua level, yakni level teoritis yang mana para ilmuwan muslim mengkaji dengan seksama secara kritiskarya-karya ilmiah di bidang fisika tertentu semisal astronomi, kedokteran dan lainnya. Dan level kedua yakni level praktis yang mana mereka berupaya untuk membuktikan kebenaran suatu teori.
Pada perkembangannya, karena metode tajribi ini menggunakan metode pengamatan indera, yang mana bisa saja memunculkan pandangan subyektif karena kemampuan indera antara satu individu dengan individu lainnya berbeda maka diciptakanlah ukuran-ukuran (kilometer, hectometer, dekameter dan lain-lain) untuk memberikan kesan obyektif pada pengamatan tersebut. Pun juga keterbatasan indera mata kita yang memungkinkan tidak dapat melihat benda yang kasat mata seperti kuman, virus dan lainnya, maka dari itu para ilmuwan muslim menciptakan alat bantu penglihatan mata untuk emlihat benda kasata mata tersebut dengan lebih jelas lagi, seperti mikroskop dan teleskop untuk melihat benda angkasa.




4.     Metode Burhani
Al burhani secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi melalui pendekatan deduktif dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenaranya secara aksiomatik.
Karena pada hakikatnya objek kajian ilmu itu tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat empiris saja, melainkan ada objek kajian ilmu yang bersifat non-fisik, maka secara tidak langsung ini memungkinkan harus ada suatu alat peneliti yang dapat menjangkau objek non-fisik tersebut. Maka para ilmuwan muslim meyakini bahwa alat itu adalah akal. Dengan adanya akal sebagai alat peneliti objek non-fisik, maka terciptalah suatu metode baru yang bersifat beyond fisik yakni metode burhani.
Karena melebihi dari indera kita, maka akal diklaim sebagai alat peneliti yang lebih baik daripada indera kita. Disebut-sebut akal mampu memahami realitas dan tidak hanya sekedar melihat, mencium, mendengar layaknya indera kita. Selain itu akal tidak mengenal jarak yang bagi indera kita dijadikan sebagai kelemahan. Mau jauh ataupun dekat tidak ada bedanya, karena akal tetap mampu untuk menggapainya. Kelebihan akal lainnya yakni ia mampu menerobos aspek batin dari suatu realitas, sehingga ia bisa mengetahui macam-macam sifat batin seperti cinta, kasih, bahagia, sedih dan lainnya.

C. Metodologi Ilmiah dalam Islam
1.      Metodologi Berasal dari Ilmu Hadits
Ulama masa lampau, sesungguhnya, menerapkan pendekatan ilmiah dalam menyelidiki kesahihan dan otetisitas hadits. Nalar diterapkan dalam mengkritisi hadits pada tiap tahapannya. Sebagaimana dinyatakan Ibnu Abi Hatim al-Razi:
”Otentisitas suatu hadits diketahui melalui asalnya yang datang dari periwayat yang terpercaya dan pernyataannya itu sendiri harus sepadan sebagai pernyataan nubuwah”.
Bagi kepentingan metodologi hadits, tsiqah (dapat dipercaya) merupakan syarat utama bagi uatu hadits autentik. Seluruh muhadditsun sepakat bahwa tradisi kenabian hanya dapat diterima jika ia diriwayatkan oleh periwayat yang dapat dipercaya. Al-Khatib al-Baghdadi mencatat sejumlah ungkapan para tabi’in bahwa: “seseorang tidak boleh melaporkan tentang Nabi saw. Kecuali oleh mereka yang dapat dipercaya”. Jadi, penerimaan akhir suatu riwayat tidak hanya terletak pada ketepatan dan otentisitasnya, tetapi juga kejujuran para periwayatnya.[2]
Jadi, periwayat yang terpercaya tidak hanya ditentukan oleh ilmu yang mumpuni, tetapi juga oleh karakterdiri yang baik. Maka, prilaku moral tidak hanya pada tataran axiologi ilmu, tapi juga pada ontologi dan epistemologi. Dalam mengikutkan keyakinan dan prilaku substrata ontologis, epistemologis, metodologis, dan axiologis ilmu hadits, ini membuat hadits memiliki metodologi yang unik.

2.      Metodologi yang Berasal dari Ushul al-Fiqh
Asyi-Syafi’i menyatakan bahwa mereka yang mempelajari ilmu Islam harus mempelajari Al-Qur’an dan segala ilmunya semampunya. Ketika niat mereka ikhlas, mereka dapat mereka dapat mengutip ayat-ayatnya dan menarik maknaya.
Serupa dengan itu, Al-Ghazali menetapkan bahwa mereka yang meriwayatkan hal-hal yang syariah yang mewajibkan Muslim untuk bertindak atau meninggalkan suatu amal maka iapun harus muslim. Dalam pandangannya, non muslim patut dicurigai dan tidak dapat dipercaya untuk meriwayatkan riwayat yang berisi syariah, karena ia mungkin akan mencampurinya dengan keyakinannya yang salah atau mengarang berita dan menisbatkannya pada Nabi saw. Untuk menyesatkan Muslim. Ia menambahkan bahwa secara umum, bahkan kesaksian dan berita dari seorang  fasik tidak dapat diterima. Mereka tertolak, karena menerimanya hanya akan memberi mereka penghormatan, sehingga ucapan mereka dapat mengikat kaum muslim. Dalam hal ini, maka kafir lebih berat dan dahsyat daripada fasik. Maka, Al-Ghazali menegaskan bahwantidak pantas dalam mengatur segala urusan mengakuinya sebagai suatu yang mengikat suatu ketetapan agama yang berasal dari laporan seseorang yang tidak meyakini kemuliaan iman Islam.[3]

3.      Metodologi yang Diambil dari Tafsir
Demikian juga, perilaku moral juga dijumpai dalam ilmu tafsir. Etika penafsiran Al-Qur’an adalah kesalehan dan adil. Al-Zarkashi berkata “Ketahuilah bahwa pemahaman makna wahyu tidak tergapai oleh pengamat dan rahasia pemahamannya tidak tampak baginya sementara bid’ah atau kesombongan atau godaan atau cinta dunia atau berlaku maksiat atau keyakinan tidak diakui atau pengakuan yang lemah atau ia bergantung pada kata-kata penerjemah yang ia tidak paham akan ilmunya, dan semua ini adalah hijab dan halangan yang mana satu lebih besar dari yang lain”[4]
            Jadi, moral dan metode yang jujur merupakan kewajiban keyakinan sebagai salah atau kriteria utama dalam menafsirkan Al-Qur’an. Al-Tabari misalnya, berpendapat bahwa salah satu syarat menafsirkan Al-Qur’an adalah, keyakinan yang kuat dan komitmen kepada urusan agama. Mereka yang keyakinannya cacat, tidak dapat dipercaya untuk bertanggung jawab menangani masalah dunia, apalagi agama.
            Ibnu Mas’ud berkata, “Ketika kami sudah belajar sepuluh ayat, kami tidak menambahnya hingga kami paham maknanya dan mengamalkannya”. Abu A’bd al-Rahman al-Sulami: mereka yang bisa mengajari kami membaca (Al-Qur’an) berkata bahwa mereka meminta Rasullulah membaca, dan ketika mereka sudah mendapat sepuluh ayat mereka berhenti dahulu hingga mengamalkan kandungannya. Maka kami belajar Al-Qur’an dan sekaligus mengamalkannya.
            Setelah penjelasan metodologi yang mapan yang diambil dari ilmu hadits, usul al-fiqh dan tafsir, para peneliti percaya bahwa sesungguhnya ulama harus menggabungkan dalam diri mereka ketaatan kepada Allah, dengan menaati perintah-Nya sebagaimana ditetapkan dalam Al-Qur’an dan sesuai dengan cara yang diperintahkan Nabi Muhammad saw. Jadi, studi agama islam tidak hanya memadai pada peringkat intelektual, karena juga harus diamalkan dalam hidup seseorang yang mempelajarinya. Karena tidak mungkin bagi sarjana non-muslim berlaku sesuai syariah sebab mereka non-muslim, ulama sejati memiliki hidangan utama yang otomatis, istimewa, tak terubahkan ke dalam sifat agama islam. Mereka adalah hakim yang terbaik, satu-satunya dari ajaran-ajarannya. Memadukan keyakinan dan moral ke dalam ilmu merupakan metodologi unik studi agama Islam.[5]


[1] Mukti Ali.Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta :bulan bintang,1991) h.27
[2] Dr. Adian Husaini, et.al,Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta :Gema Insani,2013) h.179-180
[3] Ibid,. h. 184-185
[4] Ahmad Zaki Mansur Hammad,Abu Hamid al-Ghazali’s Juristic Doctrine dalam al-mustafa,h. 78
[5] Dr. Adian Husaini, et.al,Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta :Gema Insani,2013) h. 185-186

0 komentar:

Posting Komentar