Metodologi
berasal dari kata metode dan logos. Metodologi bisa diartikan
ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Kata metode berasal dari bahasa
yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui,
mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah)
kata methodos sendiri lalu berarti: penelitian, metode ilmiah, hipotesis
ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan
tertentu.
Metodologi
adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu, metode
kognitif yang betul untuk mencari kebenaran adalah lebih penting dari filsafat,
sains, atau hanya mempunyai bakat.[1]
Metodologi
merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode
tersebut. jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan
yang terdapat dalam metode ilmiah. Metode berpikir ilmiah merupakan prosedur,
cara atau teknik dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, jadi ilmu
merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah atau dengan kata lain
bahwa suatu pengetahuan baru dapat disebut suatu ilmu apabila diperoleh melalui
kerangka kerja ilmiah, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan
bias disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan metode ilmiah. Pendapat
lain mengatakan bahwa metode ilmiah adalah sebuah prosedur yang digunakan
ilmuwan dalam pencarian kebenaran baru. Dilakukan dengan cara kerja sistematis
terhadap pengetahuan baru dan melakukan peninjauan kembali kepada pengetahuan
yang telah ada. Tujuan dari penggunaan metode ilmiah adalah tuntutan supaya
ilmu pengetahuan bisa terus berkembang seiring perkembangan zaman dan menjawab
tantangan yang dihadapi.
Sedangkang yang
dimaksud proses kegiatan ilmiah, menurut Riychia Calder, dimulai ketika manusia
mengamati sesuatu. Secara ontologis ilmu membatasi masalah yang diamati dan
dikaji hanya pada masalah yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan
pengetahuan manusia. Jadi ilmu tidak mempermasalahkan tentang hal-hal di luar
jangkauan manusia.
Di era modern
ini dimana pemahaman terhadap sesuatu dengan mengedepankan logika, kajian studi
Islam dituntut juga secara ilmiah tetapi tidak lepas dari dua sumber hukum
Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dengan adanya kajian Islam secara ilmiah ini
mampu membuat orang berwawasan luas dan mampu memahami Islam secara Ilmiah
sesuai dengan perkembangan zaman dan bisa lebih toleran. Dalam hal ini akan
membahas secara khusus:
1) Pertama, Islam dan
pengembangan ilmu pengetahuan, meliputi:
a.
Perhatian Islam terhadap ilmu
pengetahuan
Ilmu dalam
Islam merupakan salah satu kekuatan penyangga. Allah pernah menunjukkan makna
pena yang biasa dipakai menulis oleh para ulama, yaitu ketika Allah bersumpah
demi pena melalui firman-Nya,
“Demi kalam (pena) dan
segala apa yang mereka tulis” (QS. Al-Qalam: 1)
“Sesungguhnya diantara
hamba-hamba Allah yang paling takut kepada-Nya hanyalah ulama” (QS. Fathir:
28)
“Allah menjunjung tinggi
orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang yang berilmu pada beberapa
tingkatan” (QS. Mujadalah:11)
Dari ayat-ayat
di atas dapat dilihat begitu besarnya penghargaan kepada orang-orang yang
berilmu. Nabi SAW. juga menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk belajar bahasa
asing agar mereka memperoleh pengetahuan budaya bangsa lain. Dalam salah satu
khutbahnya, Rasulullah memuji kelebihan orang-orang yang berilmu, mengingatkan
kepada kaumnya bagi yang tidak mau mengajarkan ilmu yang diperoleh, dan
memerangi orang-orang yang bermain dalam mencari ilmu.
b.
Integrasi agama dan ilmu pengetahuan
Islam merupakan
agama yang memotivasi orang untuk mentransfer ilmu kepada yang lain. Kegiatan
ini mampu melahirkan tradisi keilmuan dan akademik yang mapan, sebagaimana hal
itu dikenal di Barat dengan sebutan metode ilmiah modern. Metode ini sekarang
berhasil menumbuhkan budaya progresif di sana yang pada gilirannya telah
menguasai dunia. Dari sini dapat dilihat bahwasannya budaya Islam yang telah
ikut serta memajukan budaya barat adalah karena metode ilmiah itu.
Para ilmuwan
Muslim menemukan toleransi dan kemudahan dalam agama, bahkan mereka mengajak
menyingkap rahasia alam dan rahasia substansinya sehinga dapat ditundukkan guna
keperluan manusia, memakmurkan alam ini dan mengembangkan kehidupannya.
c.
Universitas Islam dan sumbangannya
terhadap ilmuwan dunia
Dalam buku The
History of Science, Parnal menyatakan, “sesungguhnya para ilmuwan Muslim
telah melaksanakan pengabdian kemanusiaan yang tak terhitung”. Para ilmuwan
benar-benar berlomba dan memuliakan ilmu dan ulama. Diantara ilmuwan muslim itu
adalah Jabir ibn Hayan, penyusun aljabar; Khawarazmi penemu logaritma; Khalil
ibn Ahmad penemu dasar ensiklopedia dan ilmu ‘arudl; Imam Sibawaih menemukan
filsafat bahasa Arab dan prinsip-prinsip dasar ilmu I’rab, dan lain sebagainya.
Para mahasiswa banyak yang pergi ke Andalusia, Cisilia, dan seluruh ibukota
Islam di Eropa untuk belajar pada guru Muslim. Mereka itu antara lain sebagai
berikut:
1)
Pertama, Herbart yang
berhasil menguasai deferensial di Roma pada akhir abad X M.
2)
Kedua, Nicolades
yang melakukan perjalanan ke negara-negara Islam di akhir abad ke-13.
3)
Ketiga, al-Idrisi
seorang ahli geograf yang terkenal. Ia menyusun pertama kali peta geografi
dunia yang dicetak oleh Yayasan Ilmiah di Baghdad.
4)
Keempat, al-Wizan
al-Fasi, seorang dokter Arab yang memperhatikan ilmu-ilmu Islam dan
menyiarkannya pada bangsanya. Ia mempunyai andil dalam memajukan ilmu
kedokteran di Eropa. Ia juga menyusun kamus kedokteran, di mana di dalamnya ia
terjemahkan istilah-istilah kedokteran yang berbahasa Arab ke dalam bahasa
latin dan Ibrani.
Para ilmuwan
Muslim banyak yang lebih dahulu mengemukakan teorinya daripada ilmuwan yang
lain. Imam Ghazali dengan kitabnya Al-Munqidl min al-Dlalal lebih dahulu
daripada Dekkart. Qudamah ibn Ja’far telah mampu membuat pola bumi dan
mengetahui pendeknya waktu siang di dua kutub. Pada tahun 595 H. Ibn Zuhri
al-Andalusia mengarang Taisiir. Buku kedokteran pertama yang membahas
bidang perawatan kesehatan tubuh.
d.
Paradigma penelitian ilmiah dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an
memberikan petunjuk kepada kita dalam bidang keilmuan melalui pendekatan ilmiah
dan pendekatan realistik. Pendekatan ilmiah sebagaimana disampaikan oleh
Al-Qur’an didasarkan pada paradigma sebagai berikut.
Pertama, penggunaan
eksperimen atau temuan-temuan baik terdahulu atau modern.
Kedua, penggunaan
rasio dan eksperimen dalam mencari kebenaran sehingga ditemukan rumus-rumus
untuk hal-hal yang belum diketemukan oleh orang lain.
Al-Qur’an juga
menetapkan pedoman-pedoman operasional secara cermat bagi dua paradigma di atas
untuk menjaga kemungkinan distorsi atau penyimpangan. Pedoman itu antara lain:
1)
Hendaklah seorang cendekiawan tidak
menyimpan pengalaman-pengalaman serta ilmu-ilmu yang telah ia peroleh. Karena
pada hakikatnya pengalaman bukan hanya miliknya, melainkan merupakan hidayah
dan taufik dari Allah.
2)
Amanah ilmu seharusnya menempati
posisi utama.
3)
Ilmu merupakan kebenaran universal
bagi seluruh manusia.
4)
Tidak menyia-nyiakan waktu dalam
berdiskusi, baik oleh pihak guru maupun oleh pihak murid. Diskusi yang
dilakukan hendaknya tidak mendistorsi konsep yang menghambat kemajuan.
5)
Menrima hal-hal yang bermanfaat dan
meninggalkan pembicaraan tidak berguna.
6)
Menyeleksi dan meneliti para calon
pendidik yang hendak mentransfer pengetahuan kepada kita.
2) Kedua, metodologi
penelitian ilmiah, meliputi:
a.
Macam-macam penelitian akademik
b.
Langkah-langkah penelitian
Sehingga
dapat kami simpulkan bahwa metodologi ilmiah dalam islam adalah merupakan suatu
pengkajian dalam mempelajari dan memahami Islam secara ilmiah.
B. Macam-macam Metodologi Ilmiah dalam Islam
Karena selama
ini kata ilmiah cenderung diartikan kepada scientific yang mana hanya dibatasi
pada bidang-bidang empiris saja. Padahal sebenarnya hal yang bersifat ilmiah
itu jika kita sandarkan dari kata aslinya yakni ilmu, maka seharusnya tidak
hanya dibatasi dalam bidang fisik saja, karena ilmu jenisnya bermacam-macam,
ada yang bersifat inderawi dan juga ada yang bersifat non-inderawi. Jadi
intinya, metode ilmiah adalah metode penelitian ilmu yang menggunakan berbagai
macam metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Berikut adalah macam-macam dari
metode ilmiah tersebut:
1.
Metode
Bayani
Secara
etimologi, bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al Jabiri berdasarkan
beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikan sebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan
terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi
dari metode bayani.
Metode bayani
adalah metode yang merujuk kepada suatu teks yang mana teks tersebut diyakini
memiliki kandungan pengetahuan. Karena hal ini djijalankan oleh umat Islam,
maka sudah barang pasti bahwa Al-Qur’an dan hadits-lah yang dijadikan sebagai
teks rujuakn tersebut. Metode bayani ini dilakukan setidaknya untuk mengurai
ilmu yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadits.
Khususnya dalam
Al-Qur’an, dari metode bayani inilah ayat-ayat Al-Qur’an menjadi
terklasifikasikan, yakni ada pembagian muhkamat dan mutasyabihat, dzhahir dan
mubayyan, dan lain sebagainya.
2.
Metode
Irfani
Kata 'irfan adalah bentuk masdar dari kata 'arafa yang berarti ma'rifah (ilmu pengetahuan). Kemudian 'irfan lebih dikenal sebagai terminologi mistik
yang secara khusus berarti "ma'rifah" dalam pengertian "pengetahuan tentang Tuhan.”
Yakni metode setelah
kita tahu bahwa pengetahuan yang kita dapat melewati indera tersebut sifatnya
terbatas, bahkan jika kita telisik lebih dalam lagi bahwa sebenarnya realitas
yang dapat kita indera tersebut banyak memiliki sifat ambigu, yang mana para
ilmuwan muslim memiliki kesimpulan bahwa pengetahuan yang kita dapat dari
penginderaan belum tentu itu merepresentasikan fakta, dan juga pengetahuan akal
yang dikatakan melebihi dari pengetahuan indera akan tetapi masih saja
membutuhkan metode lain untuk mengarahkannya kepada koridor kebenaran, maka
para ilmuwan muslim khususnya dari kalangan sufi mengklaim bahwa ada satu
metode lain yang dirasa lebih sempurna dari kedua metode tersebut. Metode
tersebut irfani.
Metode irfani
ini menggunakan hati/qalbu, yang sudah tidak hanya melihat ataupun mempersepsi
lagi layaknya indera dan akal, akan tetapi hati sudah mampu merasakan. Karena
metode ini menisbatkan pada pengalaman atau merasakan sesuatu, maka boleh jadi
bahwa pendekatan irfani ini dapat mewakili sepenuhnya tentang pengetahuan
tersebut. Kita contohkan saja kepada rasa rindu, maka sebelum kita benar-benar
mengalamai rasa rindu tersebut, maka kita hanya bisa membayangkan saja rasa
rindu tersebut melewati media akal yang mana tidak bisa dijanjikan kebenaran
dari kesimpulannya.
Tentu saja
tidak semua orang mampu memotensikan hatinya untuk merasakan realitas
pengetahuan, maka dari itu dibutuhkan cara-cara agar kita dapat memotensikan
hati kita agar dapat digunakan untuk merengkuh pengetahuan yakni dengan cara
tazkiyah an-nafs, karena tergeraknya hati untuk menggapai pengetahuan
membutuhkan jiwa yang bersih.
3.
Metode
Tajribi
Metode tajribi
adalah metode pengamatan objek fisik yang tentu saja alatnya dengan menggunakan
indera, atau yang seringkali dilakukan oleh para peneliti barat yakni metode
eksperimen. Dalam tradisi ilmiah Islam, pengamatan terhadap objek fisik
dilakukan pada dua level, yakni level teoritis yang mana para ilmuwan muslim
mengkaji dengan seksama secara kritiskarya-karya ilmiah di bidang fisika
tertentu semisal astronomi, kedokteran dan lainnya. Dan level kedua yakni level
praktis yang mana mereka berupaya untuk membuktikan kebenaran suatu teori.
Pada
perkembangannya, karena metode tajribi ini menggunakan metode pengamatan
indera, yang mana bisa saja memunculkan pandangan subyektif karena kemampuan
indera antara satu individu dengan individu lainnya berbeda maka diciptakanlah
ukuran-ukuran (kilometer, hectometer, dekameter dan lain-lain) untuk memberikan
kesan obyektif pada pengamatan tersebut. Pun juga keterbatasan indera mata kita
yang memungkinkan tidak dapat melihat benda yang kasat mata seperti kuman,
virus dan lainnya, maka dari itu para ilmuwan muslim menciptakan alat bantu
penglihatan mata untuk emlihat benda kasata mata tersebut dengan lebih jelas
lagi, seperti mikroskop dan teleskop untuk melihat benda angkasa.
4.
Metode
Burhani
Al burhani
secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktifitas berfikir untuk
menetapkan kebenaran proposisi melalui pendekatan deduktif dengan mengaitkan
proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenaranya
secara aksiomatik.
Karena pada
hakikatnya objek kajian ilmu itu tidak hanya terbatas pada hal-hal yang
bersifat empiris saja, melainkan ada objek kajian ilmu yang bersifat non-fisik,
maka secara tidak langsung ini memungkinkan harus ada suatu alat peneliti yang
dapat menjangkau objek non-fisik tersebut. Maka para ilmuwan muslim meyakini
bahwa alat itu adalah akal. Dengan adanya akal sebagai alat peneliti objek
non-fisik, maka terciptalah suatu metode baru yang bersifat beyond fisik yakni
metode burhani.
Karena melebihi
dari indera kita, maka akal diklaim sebagai alat peneliti yang lebih baik
daripada indera kita. Disebut-sebut akal mampu memahami realitas dan tidak
hanya sekedar melihat, mencium, mendengar layaknya indera kita. Selain itu akal
tidak mengenal jarak yang bagi indera kita dijadikan sebagai kelemahan. Mau jauh
ataupun dekat tidak ada bedanya, karena akal tetap mampu untuk menggapainya.
Kelebihan akal lainnya yakni ia mampu menerobos aspek batin dari suatu
realitas, sehingga ia bisa mengetahui macam-macam sifat batin seperti cinta,
kasih, bahagia, sedih dan lainnya.
C. Metodologi Ilmiah dalam Islam
1.
Metodologi
Berasal dari Ilmu Hadits
Ulama masa
lampau, sesungguhnya, menerapkan pendekatan ilmiah dalam menyelidiki kesahihan
dan otetisitas hadits. Nalar diterapkan dalam mengkritisi hadits pada tiap
tahapannya. Sebagaimana dinyatakan Ibnu Abi Hatim al-Razi:
”Otentisitas suatu hadits diketahui melalui asalnya yang datang dari
periwayat yang terpercaya dan pernyataannya itu sendiri harus sepadan sebagai
pernyataan nubuwah”.
Bagi
kepentingan metodologi hadits, tsiqah
(dapat dipercaya) merupakan syarat utama bagi uatu hadits autentik. Seluruh muhadditsun sepakat bahwa tradisi
kenabian hanya dapat diterima jika ia diriwayatkan oleh periwayat yang dapat
dipercaya. Al-Khatib al-Baghdadi mencatat sejumlah ungkapan para tabi’in bahwa:
“seseorang tidak boleh melaporkan tentang
Nabi saw. Kecuali oleh mereka yang dapat dipercaya”. Jadi, penerimaan akhir
suatu riwayat tidak hanya terletak pada ketepatan dan otentisitasnya, tetapi
juga kejujuran para periwayatnya.[2]
Jadi, periwayat
yang terpercaya tidak hanya ditentukan oleh ilmu yang mumpuni, tetapi juga oleh
karakterdiri yang baik. Maka, prilaku moral tidak hanya pada tataran axiologi
ilmu, tapi juga pada ontologi dan epistemologi. Dalam mengikutkan keyakinan dan
prilaku substrata ontologis, epistemologis, metodologis, dan axiologis ilmu
hadits, ini membuat hadits memiliki metodologi yang unik.
2.
Metodologi yang
Berasal dari Ushul al-Fiqh
Asyi-Syafi’i
menyatakan bahwa mereka yang mempelajari ilmu Islam harus mempelajari Al-Qur’an
dan segala ilmunya semampunya. Ketika niat mereka ikhlas, mereka dapat mereka
dapat mengutip ayat-ayatnya dan menarik maknaya.
Serupa dengan
itu, Al-Ghazali menetapkan bahwa mereka yang meriwayatkan hal-hal yang syariah
yang mewajibkan Muslim untuk bertindak atau meninggalkan suatu amal maka iapun
harus muslim. Dalam pandangannya, non muslim patut dicurigai dan tidak dapat
dipercaya untuk meriwayatkan riwayat yang berisi syariah, karena ia mungkin
akan mencampurinya dengan keyakinannya yang salah atau mengarang berita dan
menisbatkannya pada Nabi saw. Untuk menyesatkan Muslim. Ia menambahkan bahwa
secara umum, bahkan kesaksian dan berita dari seorang fasik tidak dapat diterima.
Mereka tertolak, karena menerimanya hanya akan memberi mereka penghormatan,
sehingga ucapan mereka dapat mengikat kaum muslim. Dalam hal ini, maka kafir
lebih berat dan dahsyat daripada fasik. Maka, Al-Ghazali menegaskan bahwantidak
pantas dalam mengatur segala urusan mengakuinya sebagai suatu yang mengikat
suatu ketetapan agama yang berasal dari laporan seseorang yang tidak meyakini
kemuliaan iman Islam.[3]
3.
Metodologi yang
Diambil dari Tafsir
Demikian juga,
perilaku moral juga dijumpai dalam ilmu tafsir. Etika penafsiran Al-Qur’an
adalah kesalehan dan adil. Al-Zarkashi berkata “Ketahuilah bahwa pemahaman makna wahyu tidak tergapai oleh pengamat
dan rahasia pemahamannya tidak tampak baginya sementara bid’ah atau kesombongan
atau godaan atau cinta dunia atau berlaku maksiat atau keyakinan tidak diakui atau
pengakuan yang lemah atau ia bergantung pada kata-kata penerjemah yang ia tidak
paham akan ilmunya, dan semua ini adalah hijab dan halangan yang mana satu
lebih besar dari yang lain”[4]
Jadi,
moral dan metode yang jujur merupakan kewajiban keyakinan sebagai salah atau
kriteria utama dalam menafsirkan Al-Qur’an. Al-Tabari misalnya, berpendapat
bahwa salah satu syarat menafsirkan Al-Qur’an adalah, keyakinan yang kuat dan
komitmen kepada urusan agama. Mereka yang keyakinannya cacat, tidak dapat
dipercaya untuk bertanggung jawab menangani masalah dunia, apalagi agama.
Ibnu
Mas’ud berkata, “Ketika kami sudah
belajar sepuluh ayat, kami tidak menambahnya hingga kami paham maknanya dan
mengamalkannya”. Abu A’bd al-Rahman al-Sulami: mereka yang bisa mengajari
kami membaca (Al-Qur’an) berkata bahwa mereka meminta Rasullulah membaca, dan
ketika mereka sudah mendapat sepuluh ayat mereka berhenti dahulu hingga
mengamalkan kandungannya. Maka kami belajar Al-Qur’an dan sekaligus
mengamalkannya.
Setelah
penjelasan metodologi yang mapan yang diambil dari ilmu hadits, usul al-fiqh
dan tafsir, para peneliti percaya bahwa sesungguhnya ulama harus menggabungkan
dalam diri mereka ketaatan kepada Allah, dengan menaati perintah-Nya
sebagaimana ditetapkan dalam Al-Qur’an dan sesuai dengan cara yang diperintahkan
Nabi Muhammad saw. Jadi, studi agama islam tidak hanya memadai pada peringkat
intelektual, karena juga harus diamalkan dalam hidup seseorang yang
mempelajarinya. Karena tidak mungkin bagi sarjana non-muslim berlaku sesuai
syariah sebab mereka non-muslim, ulama sejati memiliki hidangan utama yang
otomatis, istimewa, tak terubahkan ke dalam sifat agama islam. Mereka adalah
hakim yang terbaik, satu-satunya dari ajaran-ajarannya. Memadukan keyakinan dan
moral ke dalam ilmu merupakan metodologi unik studi agama Islam.[5]
[1] Mukti Ali.Metode Memahami Agama
Islam, (Jakarta :bulan bintang,1991) h.27
[2] Dr. Adian Husaini, et.al,Filsafat
Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta :Gema Insani,2013) h.179-180
[3] Ibid,. h. 184-185
[4] Ahmad Zaki Mansur Hammad,Abu Hamid al-Ghazali’s Juristic Doctrine dalam
al-mustafa,h. 78
[5]
Dr. Adian
Husaini, et.al,Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta :Gema
Insani,2013) h. 185-186
0 komentar:
Posting Komentar