A. Latar Belakang Masalah
Berbicara
masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam.
Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Ilmu kalam juga diartikan sebagai
teologi Islam atau ushuluddin, yang artinya ilmu yang membahas ajaran-ajaran
dasar agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar
dan tidak mudah digoyahkan. Mengenai ilmu kalam ini, Muncullah perbedaan
pendapat di kalangan umat Islam.
Perbedaan yang
pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang
politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu,
meningkat menjadi persoalan teologi. perbedaan itu demikian tampak melalui
perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan.
Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek
filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul,
paramalaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada
peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan
kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian
memunculkan berbagai macam aliran, salah satu diantaranya ialah aliran
Qadariyah.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Qadariyah?
2.
Bagaimana latar belakang
munculnya aliran Qadariyah?
3.
Siapa saja tokoh-tokoh Qadariyah?
4.
Apa doktrin-doktrin/ajaran
Qadariyah?
5.
Adakah sekte dalam aliran qodariyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qodariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab,
yaitu dari kata قَدَرَ (qadara) yang
artinya kemampuan atau kekuatan. Adapun pengertian terminologi, Qodariyah
adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Allah. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap manusia
mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk
nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam hal ini, harun nasution turut
menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai
qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar tuhan. Seharusnya, sebutan
Qadariyah diberikan pada aliran yang berpendapat bahwa qadar telah menentuka
segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat.[1]
Menurut Ahmad
Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham
Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup
semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[2]
Aliran ini
merupakan aliran yang lebih suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada
prinsip ajaran Al-Qur’an dan hadits sendiri dalam menyelesaikan berbagai
masalah. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan berdasarkan logika semata-mata.
Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh kebenaran, sebab
logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca indera yang
serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal pikiranlah yang
harus tunduk kepada Al-Qura’n dan Hadits, bukan sebaliknya.
B. Sejarah Munculnya Aliran Qodariyah
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat
diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi
menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah
pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Juhaini dan Ghailan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah
menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin,
aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya
beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen.
Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W.
Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah
terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh
Hasan al-Basri sekitar tahun 700M. Sedangkan, menurut seorang ahli teologi
lain, Ma’bad Al-Juhaini dan Ghailan Ad-Dimasyqi adalah penganut Qadariyah yang
hidup setelah Hasan al-Bashri. Kalau dihubungkan dengan keterangan adz-Dzahabi
dalam Mizan Al-Milal, seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad
al-Juhaini pernah belajar pada Hasan al-Bashri., maka sangat mungkin faham
Qadariyah ini pertama kali dikembangkan oleh Hasan al-Bashri.
Ada pula
pendapat lain yang mengatakan bahwa Qadariyah mula-mula ditimbulkan pertama
kali sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani
dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan
(685-705 M). Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan
al-Dimasyqi mengambil faham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak.
Ma’ad al-Juhni adalah seorang tabi’in, pernah belajar kepada Washil bin Atho’,
pendiri Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh al-Hajaj, Gubernur Basrah, karena
ajaran-ajarannya. Dan menurut al-Zahabi, Ma’ad adalah seorang tabi’in yang
baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman ibn
al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam
pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’ad mati terbunuh dalam tahun 80 H.
Paham Qadariyah
muncul setelah kaum muslimin menguasai daerah yang luas sehingga terjadi
asimilasi dan penetrasi kebudayaan dengan orang non Arab. Pada waktu yang sama
banyak bangsa non Arab masuk Islam, di antara mereka masih banyak terpengaruh
agama dan kebudayaan nenek moyangnya. Oleh sebab itu, tak dapat dihindari
timbulnya asumsi bahwa paham Qadariyah dipengaruhi oleh teologi dan
kebudayaan dari luar Islam yaitu Masehi dan Yunani.[3]
Faham Qadariyah
mendapat tantangan keras dari umat islam ketika itu. Ada beberapa hal yang
mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, antara lain:
1. Dilihat dari
segi historis, masyarakat Arab sebelum islam kelihatannya dipengaruhi oleh
faham fatalis. Kehidupan bahasa arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari
pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah kepada keganasan alam, panas yang
menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Faham itu terus dianut
kendatipun mereka sudah beragama islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah
dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap
bertentangan dengan doktrin islam.
2. Tantangan dari
pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat
pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah
menganggap faham Qodariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan
daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan
mereka yang dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari
tahta kerajaan.
C. Tokoh dan Doktrin-Doktrin/Ajaran Aliran Qodariyah
Ajaran-ajaran Mazhab ini banyak memiliki
persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga Aliran Qadariyah ini sering juga
disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak pada kepercayaan
keduanya yang menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan
perbuatannya, dan tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia ini, dan
mereka menolak ungkapan bahwa segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar
Allah SWT.
Tokoh – tokoh
qadariyah:
1.
Abdullah ibn Umar
2.
Jabir ibn Abdullah
3.
Al-Ja'd bin Dirham
4.
Anas ibn Malik
5.
Ma'bad ibn Khalif al-Juhani al-Basri
6.
Ghailan al-Dimasyqi
7.
Hasan Al-Bashri
8.
Al-jahm bin Shafwan
9.
Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba'
Al-Yahudi
Diantara tokoh faham qadariyah
yaitu:
1.
Ajaran Ma’bad Al-Juhaini
a.
Perbuatan manusia diciptakan atas
kehendaknya sendiri, oleh karena itu ia bertanggung jawab atas segala
perbuatannya.
b.
Tuhan sama sekali tidak ikut
berperan serta dalam perbuatan manusia.
c.
Tuhan tidak tahu sebelumnya apa yang
akan dilakukan oleh manusia, kecuali setelah perbuatan itu dilakukan, barulah
tuhan mengetahuinya.
2.
Ajaran Ghailan Ad-Dimasyqi
a.
Manusia menentukan perbuatannya
dengan kemauannya dan mampu berbuat baik dan buruk tanpa campur tangan tuhan.
Jadi surga atau neraka yang didapatnya bukan merupakan takdir Tuhan melainkan
karena kehendak dan perbuatannya sendiri.
b.
Iman ialah mengetahui dan mengakui
Allah dan rasulnya, sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman.
c.
Al-Qur’an itu makhluk.
d.
Allah tidak memiliki sifat.
e.
Iman adalah hak semua orang, bukan dominasi
Quraisy asal cakap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan as-Sunnah.
takdir dalam
pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai
bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah
di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya
bertindak menurut nasib yang telah di tentukan sejak azali terhadap dirinya.
Dalam faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya
bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam
istilah Al-Quran adalah sunatullah. Dan Secara alamiah manusia mempunyai takdir
yang tak dapat diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap untuk
terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk mengembangkan pemikiran dan daya
kreatifitasnya sehingga manusia dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi atau
mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan pesawat terbang.
Menurut Ahmad
Amin dalam kitabnya Fajrul Islam, pokok-pokok ajaran Qodariyah itu adalah:
1. Orang yang
berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tapi fasiq dan orang fasiq itu
masuk neraka secara kekal.
2. Allah SWT.
Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusialah yang
menciptakannya dan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga)
atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala
amal perbuatannya yang salah dan dosa karena itu pula, maka Allah berhak
disebut adil.
3. Kaum Qadariyah
mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam arti bahwa Allah tidak
memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat
yang bukan dengan zat-nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui,
berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri. Yang
menyebabkan mereka berpendapat seperti itu ialah karena pada zaman itu banyak
orang yang menganggap bahwa zat Allah SWT itu jasmani dan memiliki sifat-sifat
yang sama dengan makhluk.
4. Kaum Qadariyah
berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang
buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab segala sesuatu yang ada
memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.
Diantara ciri-ciri paham Qadariyah
adalah sebagai berikut:
1. Manusia
berkuasa penuh untuk menentukan nasib dan perbuatannya, maka perbuatan dan
nasib manusia itu dilakukan dan terjadi atas kehendak dirinya sendiri, tanpa
ada campur tangan Allah SWT.
2. Iman adalah
pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak mempengaruhi iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak
mempengaruhi keimanannya.
3. Orang yang sudah beriman tidak perlu
tergesa-gesa menjalankan ibadah dan amal-amal kebajikan lainnya.
Secara terperinci asas-asas ajaran
Qadariyah adalah sebagai berikut :
1. Mengingkari
takdir Allah SWT dengan maksud ilmu-Nya.
2. Melampau di
dalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap mereka bebas berkehendak
(iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai pengetahuan (ilmu)
mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar). Mereka menganggap bahawa Allah
tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.
3. Mereka
berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada
makhluknya. Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih).
4. Mereka
berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini disebabkan pengingkaran
mereka terhadap sifat Allah.
5. Mengenal Allah
wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.
6. Mereka
mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada penyerupaan
(tasybih).
7. Mereka
mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana'), selepas
ahli syurga mengecap nikmat dan ahli neraka menerima azab siksa.
Dalil-dalil yang digunakan sebagai alasan Qodariyah, Sungguh pun
demikian aliran ini tidaklah berjalan mulus begitu saja tanpa adanya
tantangan-tantangan. Banyak kritik ditujukan kepadanya, tetapi para pengikutnya
rupanya tidak begitu surut, sebab faham Qadariyah dianggap lebih rasional yang
lambat laun diteruskan Mu’tazilah yang berupaya menjunjung tinggi martabat
manusia sebagai khalifah,
yang akan mempertanggung jawabkan segala perbuatannya, dan berupaya mansucikan
Allah dari sifat-sifat yang tidak layak. Banyak ayat al-qur’an yang mendukung
dan menjadi tempat pijakan doktrin-doktrin Qodariyah, diantaranya yaitu:
1.
QS al-Kahfi: 29
فَمَن شَاءَ فَليُؤمِن وَمَن شَاءَ فَليَكفُر
“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
2.
QS Ali Imran: 165
أَوَلَمَّا أَصَا بَتكُم مَصِيبَةً قَد أَصَبتُم مِثلَيهَا قُلتُم أَنَّى
هَذَا قُل هُوَمِن عِندِ أَنفُسِكُم
“Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal
kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada
peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?”
Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu”.
3.
QS ar-Ra’d:11
اِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُمَا بِقَومٍ
حَتَّى يُغَيِّرُوامَابِأَنفُسِهِم
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri”.
4.
QS. An-Nisa’: 111
وَمَن يَكسِب اِثمًا فَاِ نَّمَا
يَكسِبُهُ عَلَى نَفسِهِ
“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya
untuk (kemudharatan) dirinya sendiri”.[4]
D. Sekte dalam Qadariyah
Seperti faham dalam ilmu kalam
lainnya, faham Qadariyah pun terpecah menjadi beberapa kelompok. Banyak
pendapat tentang perpecahan Qadariyah ini, diantaranya dikatakan bahwa faham
Qadariyah terpecah menjadi dua puluh kelompok besar, yang setiap kelompok dari
mereka mengkafirkan kelompok yang lainnya. Dua puluh aliran dari Qadariyah itu
adalah:
1.
Washiliyah
2.
‘Amruwiyah
3.
Hudzaliyah
4.
Nazhamiyah
5.
Murdariyah
6.
Ma‘mariyah
7.
Tsamamiyah
8.
Jahizhiyah
9.
Khabithiyah
10.
Himariyah
11.
Khiyathiyah
12.
Syahamiyah
13.
Ashhab Shalih Qubbah
14.
Marisiyah
15.
Ka‘biyah
16.
Jubbaiyah
17.
Bahsyamiyah
18.
Murjiah Qadariyah
19.
Khabithiyah (pecahan Bahsyamiyah
lahir pula aliran besar Khabithiyah)
20.
Himariyah (pecahan Bahsyamiyah lahir
pula aliran besar Himariyah )
Dan sesungguhnya Qadariyah
terpecah-pecah menjadi golongan yang banyak, tidak ada yang mengetahui
jumlahnya kecuali Allah, setiap golongan membuat madzhab (ajaran) tersendiri
dan kemudian memisahkan diri dari golongan yang sebelumnya. Inilah keadaan
ahlul bid’ah yang mana mereka selalu dalam perpecahan dan selalu menciptakan
pemikiran-pemikiran dan penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan saling
berlawanan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qadariyah
berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata
qadara yang artinya kemampuan atau kekuatan. Adapun pengertian terminologi,
Qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Allah. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa
Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan
dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Sejarah
lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar
teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad
al-Juhaini dan Ghailan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. Menurutnya, Ma’bad
dan Ghailan memperoleh fahamnya dari orang Kristen yang masuk Islam di Irak dan
kemudian kembali lagi ke agama Kristen. Sedangkan, menurut seorang ahli teologi
lain, Ma’bad Al-Juhaini dan Ghailan Ad-Dimasyqi adalah penganut Qadariyah yang
hidup setelah Hasan al-Bashri. maka sangat mungkin faham Qadariyah ini pertama
kali dikembangkan oleh Hasan al-Bashri.
Aliran
Qadariyah ini dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhaini dan Ghailan Ad-Dimasyqi.
Diantara doktrin-doktrin nya yaitu Perbuatan manusia diciptakan atas
kehendaknya sendiri, oleh karena itu ia bertanggung jawab atas segala
perbuatannya. Iman ialah mengetahui dan mengakui Allah dan rasulnya, sedangkan
amal perbuatan tidak mempengaruhi iman. Al-Qur’an itu makhluk. Allah tidak
memiliki sifat. Doktrin-doktrinnya juga diperkuat dengan beberapa ayat dalam
Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam.
Banjarmasin: Antasari Pres.2008
Ahmad Amin, Fajrul Islam. Singapora:
Sulaiman al-Mar’i. 1965
Abdul rozak dan rosihon anwar, ilmu kalam. Bandung:pustaka setia.2012
[1]
Abdul
rozak dan rosihon anwar,ilmu kalam,Bandung:pustaka setia,2012
[2]
Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam,
(Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
[3]
Ahmad
Amin, Fajrul Islam (Singapora: Sulaiman al-Mar’i, 1965),
hlm.284-285.
[4]
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya
0 komentar:
Posting Komentar