Jumat, 29 April 2016

Aliran Qodariyah

PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, yang artinya ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Mengenai ilmu kalam ini, Muncullah perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi. perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, paramalaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, salah satu diantaranya ialah aliran Qadariyah.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Qadariyah?
2.      Bagaimana  latar belakang munculnya aliran Qadariyah?
3.      Siapa saja tokoh-tokoh Qadariyah?
4.      Apa doktrin-doktrin/ajaran Qadariyah?
5.      Adakah sekte dalam aliran qodariyah?


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Qodariyah
   Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata قَدَرَ (qadara) yang artinya kemampuan atau kekuatan. Adapun pengertian terminologi, Qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap manusia mempunyai qudrat atau kekuatan  untuk melaksanakan kehendaknya. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam hal ini, harun nasution turut menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar tuhan. Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan pada aliran yang berpendapat bahwa qadar telah menentuka segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat.[1]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[2]
Aliran ini merupakan aliran yang lebih suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip ajaran Al-Qur’an dan hadits sendiri dalam menyelesaikan berbagai masalah. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan berdasarkan logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca indera yang serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-Qura’n dan Hadits, bukan sebaliknya.

B. Sejarah Munculnya Aliran Qodariyah
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Juhaini dan Ghailan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M. Sedangkan, menurut seorang ahli teologi lain, Ma’bad Al-Juhaini dan Ghailan Ad-Dimasyqi adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan al-Bashri. Kalau dihubungkan dengan keterangan adz-Dzahabi dalam Mizan Al-Milal, seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad al-Juhaini pernah belajar pada Hasan al-Bashri., maka sangat mungkin faham Qadariyah ini pertama kali dikembangkan oleh Hasan al-Bashri.
Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa Qadariyah mula-mula ditimbulkan pertama kali sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengambil faham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Ma’ad al-Juhni adalah seorang tabi’in, pernah belajar kepada Washil bin Atho’, pendiri Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh al-Hajaj, Gubernur Basrah, karena ajaran-ajarannya. Dan menurut al-Zahabi, Ma’ad adalah seorang tabi’in yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’ad mati terbunuh dalam tahun 80 H.
Paham Qadariyah muncul setelah kaum muslimin menguasai daerah yang luas sehingga terjadi asimilasi dan penetrasi kebudayaan dengan orang non Arab. Pada waktu yang sama banyak bangsa non Arab masuk Islam, di antara mereka masih banyak terpengaruh agama dan kebudayaan nenek moyangnya. Oleh sebab itu, tak dapat dihindari timbulnya asumsi bahwa paham Qadariyah dipengaruhi oleh teologi dan kebudayaan dari luar Islam yaitu Masehi dan Yunani.[3]
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, antara lain:
1.      Dilihat dari segi historis, masyarakat Arab sebelum islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bahasa arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah kepada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Faham itu terus dianut kendatipun mereka sudah beragama islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan doktrin islam.
2.      Tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap faham Qodariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.




C. Tokoh dan Doktrin-Doktrin/Ajaran Aliran Qodariyah
   Ajaran-ajaran Mazhab ini banyak memiliki persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga Aliran Qadariyah ini sering juga disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak pada kepercayaan keduanya yang menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia ini, dan mereka menolak ungkapan bahwa segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah SWT.
Tokoh – tokoh qadariyah:  
1.      Abdullah ibn Umar
2.      Jabir ibn Abdullah
3.      Al-Ja'd bin Dirham
4.      Anas ibn Malik
5.      Ma'bad ibn Khalif al-Juhani al-Basri
6.      Ghailan al-Dimasyqi
7.      Hasan Al-Bashri
8.      Al-jahm bin Shafwan
9.      Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba' Al-Yahudi 

Diantara tokoh faham qadariyah yaitu:
1.      Ajaran Ma’bad Al-Juhaini
a.       Perbuatan manusia diciptakan atas kehendaknya sendiri, oleh karena itu ia bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
b.      Tuhan sama sekali tidak ikut berperan serta dalam perbuatan manusia.
c.       Tuhan tidak tahu sebelumnya apa yang akan dilakukan oleh manusia, kecuali setelah perbuatan itu dilakukan, barulah tuhan mengetahuinya.

2.      Ajaran Ghailan Ad-Dimasyqi
a.       Manusia menentukan perbuatannya dengan kemauannya dan mampu berbuat baik dan buruk tanpa campur tangan tuhan. Jadi surga atau neraka yang didapatnya bukan merupakan takdir Tuhan melainkan karena kehendak dan perbuatannya sendiri.
b.      Iman ialah mengetahui dan mengakui Allah dan rasulnya, sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman.
c.       Al-Qur’an itu makhluk.
d.      Allah tidak memiliki sifat.
e.       Iman adalah hak semua orang, bukan dominasi Quraisy asal cakap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan as-Sunnah.
takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir  yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah. Dan Secara alamiah manusia mempunyai takdir yang tak dapat diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap untuk terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk mengembangkan pemikiran dan daya kreatifitasnya sehingga manusia dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi atau mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan pesawat terbang.
Menurut Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam, pokok-pokok ajaran Qodariyah itu adalah:
1.      Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tapi fasiq dan orang fasiq itu masuk neraka secara kekal.
2.      Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusialah yang menciptakannya dan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa karena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
3.      Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam arti bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat-nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri. Yang menyebabkan mereka berpendapat seperti itu ialah karena pada zaman itu banyak orang yang menganggap bahwa zat Allah SWT itu jasmani dan memiliki sifat-sifat yang sama dengan makhluk.
4.      Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab segala sesuatu yang ada memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.

Diantara ciri-ciri paham Qadariyah adalah sebagai berikut:
1.      Manusia berkuasa penuh untuk menentukan nasib dan perbuatannya, maka perbuatan dan nasib manusia itu dilakukan dan terjadi atas kehendak dirinya sendiri, tanpa ada campur tangan Allah SWT.
2.      Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak mempengaruhi iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak mempengaruhi keimanannya.
3.      Orang yang sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah dan amal-amal kebajikan lainnya.

Secara terperinci asas-asas ajaran Qadariyah adalah sebagai berikut :
1.      Mengingkari takdir Allah SWT dengan maksud ilmu-Nya.
2.      Melampau di dalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap mereka bebas berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai pengetahuan (ilmu) mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar). Mereka menganggap bahawa Allah tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.
3.      Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada makhluknya. Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih).
4.      Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini disebabkan pengingkaran mereka terhadap sifat Allah.
5.      Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.
6.      Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih).
7.      Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana'), selepas ahli syurga mengecap nikmat dan ahli neraka menerima azab siksa.

Dalil-dalil yang digunakan sebagai alasan Qodariyah, Sungguh pun demikian aliran ini tidaklah berjalan mulus begitu saja tanpa adanya tantangan-tantangan. Banyak kritik ditujukan kepadanya, tetapi para pengikutnya rupanya tidak begitu surut, sebab faham Qadariyah dianggap lebih rasional yang lambat laun diteruskan Mu’tazilah yang berupaya menjunjung tinggi martabat manusia sebagai khalifah, yang akan mempertanggung jawabkan segala perbuatannya, dan berupaya mansucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak. Banyak ayat al-qur’an yang mendukung dan menjadi tempat pijakan doktrin-doktrin Qodariyah, diantaranya yaitu:

1.      QS al-Kahfi: 29
فَمَن شَاءَ فَليُؤمِن وَمَن شَاءَ فَليَكفُر     
“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.

2.      QS Ali Imran: 165

أَوَلَمَّا أَصَا بَتكُم مَصِيبَةً قَد أَصَبتُم مِثلَيهَا قُلتُم أَنَّى هَذَا قُل هُوَمِن عِندِ أَنفُسِكُم  
“Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

3.      QS ar-Ra’d:11
اِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُمَا بِقَومٍ حَتَّى يُغَيِّرُوامَابِأَنفُسِهِم
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.

4.      QS. An-Nisa: 111
وَمَن يَكسِب اِثمًا فَاِ نَّمَا يَكسِبُهُ عَلَى نَفسِهِ
“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri”.[4]

D. Sekte dalam Qadariyah 
Seperti faham dalam ilmu kalam lainnya, faham Qadariyah pun terpecah menjadi beberapa kelompok. Banyak pendapat tentang perpecahan Qadariyah ini, diantaranya dikatakan bahwa faham Qadariyah terpecah menjadi dua puluh kelompok besar, yang setiap kelompok dari mereka mengkafirkan kelompok yang lainnya. Dua puluh aliran dari Qadariyah itu adalah:
1.      Washiliyah
2.      ‘Amruwiyah
3.      Hudzaliyah
4.      Nazhamiyah
5.      Murdariyah
6.      Ma‘mariyah
7.      Tsamamiyah
8.      Jahizhiyah
9.      Khabithiyah
10.  Himariyah
11.  Khiyathiyah
12.  Syahamiyah
13.  Ashhab Shalih Qubbah
14.  Marisiyah
15.  Ka‘biyah
16.  Jubbaiyah
17.  Bahsyamiyah
18.  Murjiah Qadariyah
19.  Khabithiyah (pecahan Bahsyamiyah lahir pula aliran besar Khabithiyah)
20.  Himariyah (pecahan Bahsyamiyah lahir pula aliran besar Himariyah )
Dan sesungguhnya Qadariyah terpecah-pecah menjadi golongan yang banyak, tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah, setiap golongan membuat madzhab (ajaran) tersendiri dan kemudian memisahkan diri dari golongan yang sebelumnya. Inilah keadaan ahlul bid’ah yang mana mereka selalu dalam perpecahan dan selalu menciptakan pemikiran-pemikiran dan penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan saling berlawanan.


















BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan atau kekuatan. Adapun pengertian terminologi, Qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Juhaini dan Ghailan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. Menurutnya, Ma’bad dan Ghailan memperoleh fahamnya dari orang Kristen yang masuk Islam di Irak dan kemudian kembali lagi ke agama Kristen. Sedangkan, menurut seorang ahli teologi lain, Ma’bad Al-Juhaini dan Ghailan Ad-Dimasyqi adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan al-Bashri. maka sangat mungkin faham Qadariyah ini pertama kali dikembangkan oleh Hasan al-Bashri.
Aliran Qadariyah ini dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhaini dan Ghailan Ad-Dimasyqi. Diantara doktrin-doktrin nya yaitu Perbuatan manusia diciptakan atas kehendaknya sendiri, oleh karena itu ia bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Iman ialah mengetahui dan mengakui Allah dan rasulnya, sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman. Al-Qur’an itu makhluk. Allah tidak memiliki sifat. Doktrin-doktrinnya juga diperkuat dengan beberapa ayat dalam Al-Qur’an.



DAFTAR PUSTAKA

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya

Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam. Banjarmasin: Antasari Pres.2008

Ahmad Amin, Fajrul Islam. Singapora: Sulaiman al-Mar’i. 1965

Abdul rozak dan rosihon anwar, ilmu kalam. Bandung:pustaka setia.2012




[1] Abdul rozak dan rosihon anwar,ilmu kalam,Bandung:pustaka setia,2012
[2] Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
[3] Ahmad Amin, Fajrul Islam (Singapora: Sulaiman al-Mar’i, 1965), hlm.284-285.
[4] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya

0 komentar:

Posting Komentar